“Dan tidaklah patut bagi mu’min dan tidak (pula) bagi mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahzaab : 36)
Kalimat Thoyyibah yakni, kalimat tauhid: “Laa ilaaha illallah” di samping bermakna meng”Esa”kan Allah SWT dalam Dzat, sifat dan Asma-Nya, juga meng”Esa”kan Allah SWT dalam syariat-Nya. Apalah artinya seseorang meng”Esa”kan Allah SWT dalam Dzat, jika malah menyekutukan dan atau mengkufuri Allah SWT dalam aturan dan hukum-Nya.
Mereka yang digolongkan kafir oleh Al Qur’an bukan sebatas yang ingkar akan Dzat Allah SWT (Mulhid dan atau Musyrik) tapi juga mereka yang mengimani ”rububiyah” Allah SWT sebagai “Pencipta, Pemelihara, Pengatur dan Pendidik” yang secara fitrah dimiliki setiap manusia (QS. Al A’raaf :172; Ar Ruum : 30) namun mengkufuri “Uluhiyyah”nya Allah SWT sebagai Dzat satu-satuya yang berhak diibadahi dengan melaksanakan syariat-Nya.
Simak firman Allah SWT: Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa menciptakan, pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan ?” maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya? (Yunus : 31)
Setiap mu’min dituntut “Aslama – Islam” (tunduk patuh dan taat) terhadap syariat Allah SWT, baik dimengerti atau tidak dimengerti akalnya, sejalan atau tidak sejalan dengan hawa nafsunya. Setiap mu’min sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. Al Ahzaab : 36 di atas tidak memiliki pilihan kecuali taat terhadap syariat Allah, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh” (QS. An Nuur : 51).
Siapapun tidak mungkin meragukan Iblis dalam keimanannya terhadap Dzat Allah SWT. Mustahil dia sesat dengan meyakini Allah beranak dan diperanakkan atau ada sekutunya bagi-Nya, karena Iblis berdialog langsung dan menyaksikan Allah SWT tidak sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang mengkufurinya. Gugurnya keimanan Iblis yang berakhir dengan dilaknatnya Iblis hanya karena kufur terhadap satu aturan Allah SWT. Bahkan logika sesatnya menuding Allah keliru dalam aturan-Nya. Semestinya Adam (manusia)lah yang harus sujud (hormat) kepadanya.
Sikap kufur yang sama juga yang ditunjukkan sebagaian bani Israil pada zaman Nabi Musa As., di mana ketika mereka sudah tidak memiliki argumentasi lagi untuk mengkufuri Allah dari segi Dzat (setelah 40 orang di antara mereka mendengar firman Allah dari balik bukit Thursina), mereka pun berupaya berkompromi dengan Nabi Musa As, bahwa mereka hanya akan tunduk dan patuh terhadap syariat Allah SWT yang sejalan dengan hawa nafsu dan akal mereka saja. Allah SWT menegur mereka lewat firman-Nya: “…Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (QS.Al Baqarah : 85)
Artinya, iman tidak mengenal prosentase, yakini dan terima syariat Allah SWT sepenuhnya atau tidak sama sekali! Tidak ada dalam kamus iman, orang itu sudah agak beriman, atau masih agak kafir. Kesesatan yang sama juga sudah lama dipertontonkan di Negeri ini oleh kaum Sepilis (Sekularisme, pluralism dan liberalism) mereka mengaku mu’min, namun kufur terhadap (sebahagian) syariat Allah SWT. Bahkan di antara mereka tidak sedikit yang terjebak logika sesat iblis dengan menuhankan akal dan melecehkan syariat Allah SWT yang tidak sejalan dengan logika mereka.
Gejala dan upaya Transfer of seat from God to man (Pengambilalihan kekuasaan dari Tuhan kepada manusia) sebenarnya sudah muncul sejak akhir abad 19. Ketika secara gegabah sekali Nietche (Filusuf Jerman, 1844-1900) menyatakan : “God Was Dead”. Jauh sebelumnya, Fir’aun Abad 18, Imanuel Kant (Filusuf Jerman, 1724-1804) telah pula memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan , lewat pernyataannya: “Beri saya material, niscaya akan saya perlihatkan kepada kalian, bagaimana caranya menciptakan alam semesta”.
Semoga kaum Sepilis di negeri ini tidak sedang berupaya menjadi Fir’aun-Fir’aun kecil yang sesat dan menyesatkan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: http://www.republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar