"Remember
me," says King Hamlet to his son. Tell my story. Carry
my memory, my legacy, my legitimacy, into the next
generation, to my people, to my children and
grandchildren.
INGATAN pada mulanya bukan merupakan sebuah tindakan,
tetapi sejenis pengetahuan semisal persepsi, imajinasi,
dan pemahaman. Ingatan memunculkan pengetahuan tentang
peristiwa-peristiwa masa lalu, atau kelaluan dari
peristiwa-peristiwa masa lalu.
PEMIKIR Perancis Paul Ricoeur (1999), misalnya,
mengungkapkan bahwa ingatan memiliki dua jenis hubungan
dengan masa lalu. Pertama adalah relasi pengetahuan,
sementara yang kedua adalah relasi tindakan. Kedua
relasi ini muncul karena mengingat merupakan jalan untuk
melakukan segala hal, bukan hanya dengan kata-kata,
tetapi juga dengan pikiran kita. Dalam mengingat atau
mengenang kita menggunakan ingatan kita, yang merupakan
sejenis tindakan. Justru karena ingatan merupakan sebuah
exercise, maka kita dapat berbicara tentang penggunaan
ingatan, yang pada gilirannya memungkinkan kita
berbicara tentang penyalahgunaan ingatan.
Persoalan-persoalan etis akan muncul begitu kita mulai
merefleksikan hubungan antara penggunaan dan
penyalahgunaan ingatan ini.
Pendekatan terhadap ingatan sebagai cara melakukan
segala hal dengan pikiran, atau sebagai sebuah exercise,
memiliki perjalanan panjang dalam sejarah filsafat.
Dalam Sophist, misalnya, Plato berbicara tentang "seni"
mengimitasi (mimetike techne). Dalam konteks ini, Plato
membuat pembedaan antara phantastike techne ’yang tidak
bisa diandalkan’ dan eikastike techne yang berasal dari
eikon Yunani ’citra’, yang mungkin benar. Oleh karenanya,
terdapat dua kemungkinan untuk mengimitasi atau
mengenang: phantastike techne, yang bisa keliru dan
tidak dapat diandalkan, dan eikastike techne, yang
kemungkinan dapat diandalkan.
Setelah Plato, kita memiliki sejarah panjang tentang ars
memoria, seni ingatan, yang merupakan semacam pendidikan
mengenai tindakan mengingat masa lalu. Dan di penghujung
tradisi yang memperlakukan ingatan sebagai seni ini
berdiri Nietzsche dengan risalah kedua dari Untimely
Meditation yang diberi judul On the Advantage and
Disadvantage of History of Life. Ini menarik karena
judul itu sendiri berkaitan dengan "penggunaan", bukan
penggunaan ingatan semata, tetapi penggunaan filsafat
sejarah dalam pengertian Hegelian, yaitu memperlakukan
praktik sejarah sebagai sains.
Ingatan dan sejarah
Dalam konteks ini, menarik memerhatikan tesis sejarawan
Perancis Pierre Nora (1996) yang menganggap rememoration
sebagai sebuah penulisan sejarah yang lebih menaruh
perhatian pada akibat daripada sebab suatu atau
serangkaian kejadian. Sebagai satu jenis historiografi,
rememoration menafsirkan sejarah secara simbolik. Ia
kurang berminat pada memori sebagai ingatan semata-mata,
tetapi lebih pada struktur menyeluruh masa lampau di
dalam masa kini. Pusat perhatiannya lebih pada
konstruksi tentang suatu peristiwa daripada dengan
peristiwanya itu sendiri; lebih pada jejak-jejak yang
ditinggalkan suatu tindakan daripada dengan tindakannya
itu sendiri; lebih pada bagaimana suatu kejadian
digunakan dan disalahgunakan di masa kini daripada
dengan "apa yang sesungguhnya terjadi" itu sendiri.
Contoh penulisan sejarah dengan sebagai rememoration
semacam ini antara lain pernah dilakukan oleh para
kontributor The Indonesian Killings 1965-1966: Studies
from Java and Bali (1990), buku yang kemudian disunting
oleh Robert Cribb. Buku ini, demikian ungkap Budiawan
(2003), layak disebut sebagai satu bentuk rememoration
sekurang-kurangnya karena tiga hal.
Pertama, dengan menampilkan catatan-catatan tentang
pembantaian massal di Jawa dan Bali, apa pun perspektif
yang diambil para penulis catatan itu, The Indonesian
Killings hendak menunjukkan bahwa goresan-goresan yang
ditinggalkan pembantaian itu tetap membekas pada memori
kolektif (sebagian) masyarakat Indonesia, sekalipun
tertindih oleh wacana resmi yang dominan. Pembantaian
yang meninggalkan goresan pada ingatan itu pada
gilirannya membentuk semacam struktur kepribadian
kolektif yang curiga pada kelompok lain, bersikap
menjauhkan diri dari politik, dan mudah
mengambinghitamkan pihak lain. Hal-hal semacam ini turut
menopang keberlangsungan rezim Orde Baru hingga lebih
dari tiga dasawarsa.
Kedua, dengan menyajikan analisis tentang efek-efek
pembantaian massal semacam itu, The Indonesian Killings
mencoba memperlihatkan bahwa pembantaian massal yang
menyusul Gerakan 30 September 1965 bukan sekadar
pembasmian PKI secara fisik, tetapi sekaligus penyiapan
mentalitas yang menerima kehadiran suatu orde baru yang
benar-benar terpisah dari orde sebelumnya. Istilah
"Kesaktian Pancasila" menjadi simbol dari keterputusan
sejarah yang dramatis.
Ketiga, dengan menampilkan analisis tentang bagaimana
wacana populer (film, novel, cerita-cerita pendek) Orde
Baru merekonstruksikan "apa yang terjadi di seputar 30
September 1965" dan masa-masa sesudahnya, The Indonesian
Killings hendak menunjukkan bagaimana Orde Baru
mencitrakan dirinya sebagai "penyelamat negara dan
bangsa" dan sekaligus sebagai pihak yang bisa mengampuni
mereka yang dianggap keblinger atau mereka yang dituduh
komunis. Wacana populer semacam ini turut membentuk
basis ideologis Orde Baru, yang menempatkan negara
sebagai sumber kebajikan termasuk bagi mereka yang dicap
sebagai "pengkhianat" sekalipun.
Sayangnya, perhatian terhadap penulisan sejarah sebagai
sebuah rememoration masih kurang mendapat perhatian,
baik dari sarjana Indonesia maupun sarjana luar negeri
yang konsen dengan persoalan-persoalan politik, sosial,
ekonomi, dan budaya di Indonesia. Lebih-lebih, masih ada
kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang enggan
mengakui kebenaran sejarah masa lalu baik karena gengsi
kekuasaan maupun karena merasa kepentingannya terancam.
Jika demikian halnya, sejarah sebagai rememoration akan
mencatat bagaimana usaha menempatkan masa lalu pada
tempatnya selalu menemukan hambatan. Masa lalu masih
menjadi medan pertarungan antara mereka yang ingin
menjadikannya sebagai sejarah, dalam arti masa lalu yang
telah berlalu, dan mereka yang ingin memeliharanya
sebagai hantu. Mereka yang memelihara masa lalu sebagai
hantu jelas tidak akan pernah belajar apa pun dari masa
lalu. Mereka telah menjadi "sandera dari masa lalu yang
mereka bakukan sendiri" (Trouillot, 1995).
Padahal, seharusnya setiap orang bisa belajar dari masa
lalu. Dalam kaitannya dengan kekerasan masa lalu, baik
pelaku maupun korban bisa mendapatkan pelajaran berharga
dari peristiwa kekerasan tersebut. Bagi pelaku,
mengingat penderitaan korban di masa lalu merupakan
tanggung jawab etis yang harus dia lakukan agar
kejahatan serupa tidak terulang lagi. Lebih dari itu,
ingatan akan penderitaan korban ini pun harus
disampaikan kepada anak cucunya sedemikian rupa sehingga
dapat meminimalkan kemungkinan munculnya korban-korban
potensial dan pelaku- pelaku potensial atas kejahatan
dan kekerasan yang sama.
Bagi korban, ingatan akan kekerasan di masa lalu dapat
menjadi referensi untuk meminta pertanggungjawaban
terhadap pelaku sebagai upaya rehabilitasi atas
penderitaan yang selama ini ditanggungnya. Dengan
demikian, hak-hak korban sebagai manusia dan warga
negara diharapkan dapat dipulihkan dan proses hukum yang
berlaku harus ditetapkan dilaksanakan agar para korban
mendapatkan rasa keadilan dan perlindungan yang
semestinya dia dapatkan sebagai warga negara merdeka.
Tiga pendekatan
Paul Ricoeur mengusulkan tiga macam pendekatan terhadap
ingatan sosial agar kita bisa sampai pada persoalan
etika ingatan. Ketiga pendekatan tersebut adalah
pendekatan patologis-terapetik, pendekatan pragmatik,
dan pendekatan etis-politis.
Pendekatan patologis-terapetik menuntut adanya perhatian
yang serius karena di sinilah
penyalahgunaan-penyalahgunaan ingatan yang sering
terjadi diakarkan pada sesuatu yang kita sebut luka-luka
dan goresan-goresan ingatan. Dalam hal ini kita memiliki
contoh yang baik berkaitan dengan kondisi Indonesia saat
ini: pada tempat tertentu kita dapat mengatakan bahwa
kita terlalu banyak mengingat, sementara di tempat lain
kita tidak cukup dapat mengingat peristiwa tertentu,
biasanya karena disengaja. Demikian juga, kadang kita
tidak cukup dapat melupakan sesuatu, tetapi di saat lain
kita terlalu banyak melupakannya.
Ada dua esai pendek yang ditulis Sigmund Freud,
Remembering, Repetition, and Working Through
(Durcharbeiten), yang merupakan bagian dari kumpulan
tulisan Metapsychology (1914) dan dapat digunakan
mendukung pendekatan pertama ini. Titik tolak esai ini
adalah sebuah insiden atau kecelakaan dalam kemajuan
pengobatan psikoanalitik, ketika pasien terus-menerus
mengulangi pelbagai simtom, untuk mendapatkan kemajuan
menuju pengingatan-kembali, atau menuju rekonstruksi
tentang masa lalu yang dapat diterima dan dapat
dipahami. Oleh karenanya, pendekatan pertama ini terkait
dengan persoalan resistensi dan represi dalam
psikoanalisis.
Adalah menarik bahwa pada permulaan esai tersebut Freud
mengatakan bahwa pasien mengulang alih-alih mengingat.
Karenanya, repetisi merupakan kendala untuk mengingat.
Pada tahap yang sama dalam esai tersebut, Freud
mengatakan bahwa baik dokter maupun pasien harus
memiliki kesabaran: mereka harus bersabar dalam
kaitannya dengan simtom-simtom tersebut, yang pada
gilirannya memungkinkan mereka untuk didamaikan dengan
kemustahilan untuk langsung menuju pada kebenaran-jika
memang ada kebenaran yang terkait dengan masa lalu itu.
Lebih dari itu, pasien juga harus menerima penyakitnya
agar dapat mengantisipasi saat ketika dirinya dapat
didamaikan dengan masa lalunya sendiri. Jalan menuju
rekonsiliasi dengan diri sendiri inilah yang justru
merupakan sesuatu yang disebut oleh Freud sebagai
"working through" (Durcharbeiten). Dalam esai ini pula
Freud memperkenalkan istilah penting "memory as work"
(Erinnerungarbite).
Esai kedua adalah Mourning and Melancholia. Dalam esai
ini Freud berjuang membedakan dukacita (mourning) dari
melankolia (melancholia). Melalui esai ini dia juga
berbicara tentang "kerja" dukacita. Oleh karenanya, Paul
Ricoeur berusaha menggabungkan kedua ekspresi ini-work
of memory dan work of mourning-mengingat kerja ingatan
merupakan sejenis dukacita, dan dukacita merupakan ujian
yang menyakitkan dalam memori.
Dukacita merupakan sebuah rekonsiliasi dengan hilangnya
sebagian obyek- obyek cinta; obyek-obyek cinta yang
mungkin berupa pribadi, tetapi juga dapat berupa
abstraksi-abstraksi semisal tanah air dan
kebebasan-cita-cita dalam segala bentuknya. Yang
dipertahankan dalam dukacita dan hilang dalam melankolia
adalah harga diri. Inilah sebabnya dalam melankolia
terdapat keputusasaan dan kerinduan untuk didamaikan
dengan obyek tercinta yang telah hilang tanpa ada
harapan akan rekonsiliasi.
Pada tahap ini, dukacita melindungi kita dari tren
menuju melankolia ketika terdapat sesuatu yang dia sebut
"interiorisasi obyek cinta", yang menjadi bagian dari
jiwa. Namun, harga yang harus dibayar sangat mahal
karena kita harus menyadari, langkah demi langkah,
tingkat demi tingkat, pelbagai tatanan yang didiktekan
oleh realitas. Ia adalah prinsip realitas melawan
prinsip kesenangan. Dengan demikian, melankolia dapat
menjadi pendakuan permanen atas prinsip kesenangan.
Dalam konteks politik, ketika kita masih terlalu banyak
mengingat peristiwa tertentu dan kurang mengingat
peristiwa yang lain menunjukkan bahwa kita masih berada
pada sisi yang sama, kita masih berada pada sisi
repetisi dan melankolia. Adalah luka-luka dan goresan-
goresan sejarah yang diulang-ulang dalam kondisi
melankolia. Oleh karenanya, dukacita dan "working
through" harus dilaksanakan bersama dalam perjuangan
mencapai akseptibilitas ingatan: ingatan tidak hanya
harus dapat dipahami, tetapi juga harus dapat diterima.
Dan akseptibilitas inilah yang dipertaruhkan dalam kerja
ingatan dan dukacita. Keduanya merupakan tipe-tipe
rekonsiliasi.
Dari sini kemudian kita dapat bergerak menuju pendekatan
kedua di mana pelbagai penyalahgunaan ingatan lebih
mencolok. Pendekatan ini disebut "pragmatik" karena di
sinilah kita memiliki praksis ingatan. Ingatan sering
tunduk pada penyalahgunaan karena ingatan memiliki
banyak hubungan dengan persoalan identitas.
Kenyataannya, pelbagai penyakit ingatan pada dasarnya
merupakan penyakit-penyakit identitas. Ini disebabkan
karena identitas, baik personal maupun kolektif, selalu
sekadar dianggap, didakukan, didakukan-ulang; dan karena
pertanyaan yang ada di balik problematika identitas
adalah "siapakah saya (who am I)?" kita cenderung
memberikan jawaban berkaitan dengan apakah kita (what we
are). Kita berusaha memenuhi atau menyelesaikan
pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan siapa dengan
jawaban-jawaban apa. Jawaban apa terhadap pertanyaan
siapa ini sangat tidak tepat, rapuh, dan rawan terhadap
penyalahgunaan ingatan.
Setidaknya, ada dua alasan mengapa jawaban apa terhadap
pertanyaan siapa ini tidak tepat dan rapuh. Pertama,
kita harus menghadapi kesulitan mempertahankan identitas
sepanjang masa. Inilah pendekatan yang, antara lain,
dikembangkan oleh Paul Ricoeur dalam Time and Narrative
(1988), tetapi dari sudut pandang narasi, bukan sudut
pandang ingatan. Jadi, persoalan pertama
muncul-bagaimana mempertahankan identitas sepanjang
masa-adalah persoalan yang dimunculkan baik melalui
narasi maupun memori. Mengapa? Karena kita selalu
terombang-ambing di antara dua model identitas.
Analisis terhadap dua model identitas ini kemudian
dilakukan oleh Ricoeur dalam Oneself as Another (1992)
dengan mengintroduksi dua istilah Latin: idem identity
dan ipse identity. Idem identity mengonotasikan
kesamaan; kesamaan merupakan pendakuan untuk tidak
berubah dengan mengabaikan perjalanan waktu dan dengan
mengabaikan perubahan dari pelbagai peristiwa yang
terjadi di sekitar kita dan dalam diri kita. Yang kita
sebut "karakter" kita merupakan contoh yang mungkin dari
tipe identitas ini atau level kesamaan ini. Namun, dalam
kehidupan personal, kita membutuhkan sejenis
fleksibilitas, atau semacam identitas ganda, model yang
bagi kita dapat menjadi janji, yakni kemampuan menepati
janji. Ini tidak sama dengan tetap tidak fleksibel atau
tidak berubah sepanjang masa. Sebaliknya, ia merupakan
cara menghadapi perubahan, bukan menyangkalnya. Inilah
yang disebut ipse identity. Kesulitan untuk mampu
menghadapi pelbagai perubahan sepanjang masa merupakan
satu alasan mengapa identitas menjadi demikian rapuh.
Kedua, kita berhadapan dengan persoalan the other.
Kelainan (otherness), pertama-tama dijumpai sebagai
ancaman terhadap diri kita. Adalah benar bahwa kita pada
umumnya merasa terancam dengan fakta bahwa ada orang
lain yang hidup menurut standar-standar kehidupan dan
nilai-nilai yang bertentangan dengan standar kehidupan
kita. Kecenderungan untuk menolak, menyingkirkan,
merupakan respons terhadap ancaman yang datang dari the
other ini.
Lebih dari itu, ada komponen lain yang menjelaskan
kesulitan mempertahankan identitas kita sepanjang masa,
dan mempertahankan kedirian kita dalam berhadapan dengan
the other, yaitu kekerasan yang merupakan komponen
permanen dalam hubungan dan interaksi manusia. Bahkan,
sebagian besar peristiwa yang berkaitan dengan pendirian
sebuah komunitas adalah tindakan-tindakan dan
peristiwa-peristiwa kekerasan. Jadi, dapat dikatakan
bahwa identitas kolektif berakar dalam pelbagai
peristiwa pendirian yang merupakan peristiwa-peristiwa
kekerasan.
Dari sinilah kemudian terletak arti pentingnya
pendekatan ketiga, yaitu kewajiban mengingat. Pendekatan
ketiga ini sudah memasuki wilayah etika politik karena
ia berhadapan dengan konstruksi masa depan: yaitu
kewajiban mengingat bukan saja dengan memiliki perhatian
mendalam terhadap masa lalu, tetapi mentransmisikan
makna dari peristiwa-peristiwa masa lalu kepada generasi
mendatang. Kewajiban mengingat erat kaitannya dengan
masa depan: ia merupakan imperatif yang diarahkan pada
masa depan, yang merupakan sisi sebaliknya dari karakter
traumatik dari pelbagai penghinaan dan luka sejarah.
Mengapa kita memiliki kewajiban mengingat? Pertama,
karena ia merupakan perjuangan melawan erosi
jejak-jejak; kita harus menjaga jejak-jejak, jejak-jejak
peristiwa, karena terdapat kecenderungan umum untuk
menghancurkan jejak-jejak itu. Aristoteles mengatakan
bahwa "time destroys more than it constructs." Alasan
kedua lebih bersifat etis. Dalam The Human Condition
(1958), Hannah Arendt bertanya bagaimana mungkin akan
ada kontinuasi tindakan dengan mengabaikan kematian,
dengan mengabaikan erosi jejak-jejak. Sebagai
jawabannya, Arendt mengusulkan dua syarat bagi apa yang
disebutnya sebagai kontinuasi tindakan: pengampunan dan
janji. Mengampuni pada dasarnya merupakan pembebasan
dari beban masa lalu, sementara janji meneguhkan
kemampuan untuk terikat dengan ucapan kita sendiri.
Arendt berhujah bahwa hanya umat manusia yang mampu
dibebaskan melalui pengampunan dan diikat melalui janji.
Alasan ketiga adalah kewajiban mengingat berarti
terus-menerus menghidupkan ingatan tentang penderitaan
untuk melawan kecenderungan umum dalam sejarah untuk
merayakan para pemenang. Kita dapat mengatakan bahwa
seluruh filsafat sejarah, terutama dalam pengertian
Hegelian, berkaitan dengan kumulasi keuntungan, kemajuan,
dan kemenangan. Semua yang tertinggal di belakang
menjadi hilang. Oleh karenanya, kita membutuhkan sejenis
sejarah yang paralel tentang victimization, yang akan
menjadi counter bagi sejarah keberhasilan dan kemenangan,
mengingat korban-korban sejarah-mereka yang menderita,
yang terhina, terlupakan- merupakan tugas dan tanggung
jawab kita semua.
Etika politik
Dalam konteks inilah agaknya pembicaraan tentang etika
politik menjadi relevan. Haryatmoko (2003) menjelaskan
pentingnya pembahasan mengenai etika politik setidaknya
karena tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak
santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan
legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus
merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau
peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di mana
etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua,
etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang
kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban.
Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation
(terusik dan protes terhadap ketidakadilan).
Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik
yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika
politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik
kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan
kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak
dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud
bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan "perubahan
harus konstitusional" menunjukkan bahwa etika politik
tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang
baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka
memperluas lingkup kebebasan dan membangun
institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik
ini membantu menganalisis korelasi antara tindakan
individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur
yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik
mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama
dan untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup
kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi yang
adil.
Tiga tuntutan tersebut saling terkait. "Hidup bersama
dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali
bila menerima pluralitas dan dalam kerangka
institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain
adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau
pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil
memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga
negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling
merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif
dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak
adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini dimaksudkan
sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu
demi pelaksanaan konkret kebebasan atau democratic
liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan
berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan
sebagainya.
Dalam konteks ini pembicaraan mengenai ingatan sosial
erat kaitannya dengan etika politik. Apalagi, pelbagai
kasus kekerasan dan pembunuhan massal selalu terulang di
Indonesia. Dari pengalaman ini orang mulai curiga jangan-
jangan tiadanya proses hukum terhadap kekerasan dan
pembunuhan yang terjadi merupakan upaya sistematik untuk
mengubur ingatan sosial.
Ingatan bukan sekadar bekas goresan, tetapi mengenal
kembali bekas-bekas goresan itu. Banyak dari bekas
goresan ingatan manusia terhapus dan dilupakan. Ingatan
bukan keseluruhan dari masa lalu, tetapi bagian dari
masa lalu yang terus hidup dalam diri orang atau
kelompok masyarakat yang tunduk pada representasi dan
sudut pandang dewasa ini. Maka, mengingat melibatkan
usaha untuk memberi makna, upaya memverifikasi
hipotesis-hipotesis pengingat, membangun-kembali makna.
Karenanya, menghidupkan kembali ingatan sosial berarti
membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha tidak
mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis, yang
masih menghantui dan melukai ingatan sosial. Bangsa yang
tanpa ingatan sosial adalah bangsa tanpa masa depan.
Paul Ricoeur mengingatkan akan pentingnya ingatan itu
dengan ungkapan sebagai berikut:
We
must remember because remembering is a moral duty. We
owe a debt to the victims. And the tiniest way of paying
out debt is to tell and retell what happened… by
remembering and telling, we not only prevent
forgetfullness from killing the victims twice; we also
prevent their life stories from becoming banal… and the
events from appearing as necessary.
Penulis: Ruslani (Mahasiswa S2 Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
Sumber: http://www.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar