Peperangan yang dilakukan Amerika terhadap Islam dan umatnya, tidaklah hanya di medan pertempuran sesungguhnya, namun juga dalam kancah perang ide/pemikiran. Dalam dokumen RAND Corporation disebutkan bahwa kemenangan AS yang tertinggi hanya bisa dicapai ketika ideologi Islam (yang AS menyebut sebagai ideologi para ekstrimis) didiskreditkan dalam pandangan mayoritas penduduk di tempat tinggal mereka dan di hadapan kelompok yang diam-diam menjadi pendukungnya.
Untuk itu strategi yang dimainkan AS di Indonesia adalah dengan membangun Jaringan Muslim Moderat di negeri ini. Dibentuknya Jaringan Muslim Moderat tersebut dimaksudkan untuk memunculkan perlawanan terhadap Islam Ideologi dan menguatkan dukungan terhadap berbagai kebijakan Amerika. Strategi umum untuk membangun Jaringan Muslim Moderat dilancarkan melalui 4 langkah yaitu pendidikan demokrasi, kesetaraan gender, advokasi kebijakan, dan media.
Upaya yang dilakukan untuk membangun Jaringan Muslim Moderat dengan media, salah satunya adalah dengan stigmatisasi Islam dengan isu terorisme. Perlu kita sadari bahwa AS memegang kontrol media dan piawai dalam mendramatisasi sebuah informasi. Sekecil apapun peristiwa yang berbau teror, apalagi mengatasnamakan atau membawa simbol Islam —terlepas peristiwa tersebut hasil rekayasa ataukah tidak— media kemudian mengeksposnya secara dramatis.
Indonesia menyediakan sebuah model dengan sejumlah contoh media moderat “agama dan Toleransi” yang mencapai hingga 5 juta pendengar. Program radio mingguan Jaringan Islam Liberal melalui 40 stasiun radio. Institut untuk Advokasi warga negara dan pendidikan memproduksi radio talk mingguan yang mencapai pendengar hingga 1 juta melalui lima stasiun radio di Sulawesi Selatan. Stasiun Televisi TPI, menampilkan opini mingguan dalam tema kesetaraan gender dan Islam yang mencapai 250.000 pemirsa di Jakarta. Talkshow TV bulanan tentang Islam dan Pluralisme yang mencapai 400.000 pemirsa di Jogjakarta.
Media-media moderat ini telah menghasilkan dampak dalam perubahan suara diskursus Islam di Indonesia.
Penyesatan opini, dalam berbagai bentuknya, sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah propaganda.
Propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku penduduk yang menjadi sasarannya melalu simbol-simbol verbal, tulisan, dan perilaku; dengan menggunakan media seperti buku-buku, pamflet, film, ceramah, dan lain-lain. Propaganda merupakan salah satu metode standar yang digunakan negara untuk mengamankan, memelihara, dan menerapkan power (kekuasaan) dalam rangka memajukan kepentingan nasionalnya. (Columbus dan Wolf, Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 184).
Melihat definisi di atas, propaganda merupakan perkara yang ‘wajib’ ada dalam sebuah negara, apalagi negara yang ideologis. Di sinilah penguasa atau rakyat sebuah negara harus benar-benar mampu menilai mana yang merupakan propaganda mana yang tidak. Penguasa atau rakyat sebuah negara yang gagal memahami propaganda negara lain akan mengakibatkan perubahan sikap, pendapat, dan perilakunya justru sejalan dengan kepentingan musuh.
Umat Islam sebagai umat yang ideologis harus benar-benar menyadari bahwa propaganda itu benar-benar ada. Propaganda bisa dilakukan secara sistematis untuk mendapat kemanfaatan jangka pendek atau bisa juga untuk kemanfaatan jangka panjang. Untuk jangka pendek, misalnya, melegalisasi serangan ke sebuah negara dan menjatuhkan sebuah rezim atau pemerintahan di sebuah Negara, seperti di Irak.
Propaganda bisa dilakukan juga untuk kepentingan jangka panjang. Propaganda seperti ini biasanya lebih bersinggungan dengan nilai-nilai ideologis yang ingin disebarkan di pihak lawan dan, sebaliknya, menanamkan ‘citra jelek’ terhadap nilai-nilai ideologis yang dianut oleh negara musuh. Tipe propaganda seperti ini biasa lebih membutuhkan waktu yang panjang, namun secara sistematis dan kontinu terus dilakukan.
Sebagai contoh, bagaimana AS dengan gencar menyebarkan nilai-nilai ideologisnya seperti sekularisme, demokrasi, HAM, kebebasan, dan pasar bebas. Sesungguhnya ini merupakan propaganda jangka panjang AS. Tujuannya jelas, yakni untuk kepentingan AS sendiri. Sebaliknya, AS membuat citra jelek terhadap lawan ideologinya seperti tuduhan teroris, ekstrimis, konservatif, dan pencitraan jelek lainnya.
Metode utama propaganda jangka panjang ini yang dilakukan oleh AS adalah disinformasi, yakni melakukan penyesatan opini. Inilah yang sekarang ini sedang dilakukan oleh AS kepada musuh utama ideologisnya, yakni Islam.
Hubungan antara propagaganda dengan media massa dan para intelektual adalah hal yang lumrah. Sebab, propaganda untuk mengubah pemikiran dan sikap sasarannya membutuhkan media massa sebagai alat yang efektif. Sementara itu, para intelektual sering dimanfaatkan sebagai narasumber yang dipercaya oleh masyarakat untuk memperkuat sebuah propaganda.
Agen CIA juga memiliki, mensubsidi, dan mempengaruhi banyak surat kabar, kantor berita, dan media lainnya. (Ade Armando, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 78-79).
Tidak aneh jika kemudian media massa Barat sangat miring dalam memberitakan perjuangan umat Islam. Di Indonesia, bahkan ada TV yang dengan tegas menyatakan visinya sekularisme dan anti syariat Islam. Kalaupun membuat talkshow tentang syariat Islam dan menghadirkan pembicara yang pro dan yang kontra, biasanya acaranya direkayasa sedemikian rupa, baik dari segi waktu maupun moderatornya.
Kaum intelektual Islam juga digunakan sebagai alat propaganda AS, baik sadar maupun tidak. Karena itu, AS sangat getol memberikan beasiswa kepada para pelajar di seluruh dunia. Pemerintah AS sangat sadar bahwa para pelajar yang sudah dibina oleh mereka akan menjadi corong2 propaganda kepentingan Amerika di negara asal mereka masing-masing.
Oleh: mediakita on
Sumber: http://www.suara-media.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar