Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak
jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu
telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di
negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari
banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan
koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti
tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang
isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas
berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku
himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam.
Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya,
mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada
sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota
keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam
menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu
mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran
itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat
Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu
dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan
politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan
hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam
di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran
Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar,
bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni
raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak
peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di
masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi
Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga
di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa.
Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu
penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama.
Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam—
setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai
hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid
besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan
keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para
kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau
ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung
pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad
ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh
masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda.
Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari
berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum
adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas
“orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping
komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.
Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang
Betawi di masa kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat
bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu.
Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa
Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang
mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai
peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat
yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar
diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka
memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas
yang baru.
Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok
kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium
Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia
itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan
akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang
terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu
yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab,
diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya
menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang
diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung
berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek
masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam.
Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para
hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi,
dan diberlakukan di tanah Jawa.
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum
Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di
pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di
Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di
Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta,
masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara.
Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada
penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam
menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di
bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan
adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang
hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan,
kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik.
Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau.
Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di
Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya
terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di
daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan
secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang
berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan
hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju
harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda
mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi.
Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris,
yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai
menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat,
termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.
Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan
politik kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan
hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di
seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak
terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum
Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan
menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih
suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah
ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang
tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku
tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum
Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat
mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka
masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang
dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum
Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya
adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang
disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori
ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan
Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum
Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu
tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa
hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda,
maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam
menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus
berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya,
seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau
kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita
merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat
mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante
maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai
aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam
konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan
mayoritas.
Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum,
sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus
Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu.
Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa
“segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam
praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung
berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau
kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer
Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk
negara Republik Indonesia.
Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para
penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat
nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu
berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara
kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur
pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan
administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui pembangunan
hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi
berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita
menyaksikan proses pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan
relatif cepat untuk mendukung pembangunan ekonomi kita.
Keadaan ini berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era
Reformasi. Ketika UUD 1945 telah diamandeman, kekuasaan membentuk
undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR
diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma hukum baru
yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata
peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan
perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang
hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum
ekonomi. Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH Pidana masih
tetap berlaku. Tetapi berbagai norma hukum baru yang dikategorikan
sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan, sejalan dengan
pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk memberantas
berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan
Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum
Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang
kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam
hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak
lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus
mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar.
Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam
undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam
undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan
dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.
Dilihat dari sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah
sumber hukum. Artinya undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita
menggali hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif, dalam hal
ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar semata,
tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan
norma hukukm positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam
undang-undang dasar itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar
yang tertulis, yang pada umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam
penyelenggaran negara, kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk jaminan
hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara. Di samping
undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni
berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik
penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di
bidang hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya
hukum dasar yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum
dasar yang tidak tertulis itu.
Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus
kaidah-kaidah hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor
filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi
kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah
hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh
bertindak sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan
itu bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum
yang kita rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik.
Unsur-unsur filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita,
komposisi kemajemukan bangsa kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita dapat menguraikan
dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum, walau
tentu di kalangan para ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan
dan pandangan.
Syariat, Fikih dan Qanun
Dari uraian-uraian di atas, timbullan pertanyaan, di manakah letak
atau posisi hukum Islam yang saya maksudkan, dalam hukum nasional kita?
Sebelum menguraikan lebihlanjut jawaban atas pertanyaan ini, saya harus
menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud dengan “hukum Islam” itu
dalam perspektif teoritis ilmu hukum.Kalau kita membicarakan hukum
Islam,kita harus membedakannya antara syariat Islam, fikih Islam dan qanun.
Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan
para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat bahwa keseluruhan ajaran
Islam yang dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadith itu adalah syariat
Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian yang sangat
luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.
Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada
ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung
kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus membedakannya dengan
kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan kaidah-kaidah
yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti ini,
maka dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka
kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik di bidang peribadatan
maupun di bidang mu’amalah — tidaklah banyak jumlahnya. Al-Khallaf
menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung
kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari
keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam
ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat umum. Dengan demikian, belum
dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap sebagai
kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang
hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya
hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana,
diberikan asas-asasnya saja. Khsus dibidang pidana, ada dirmuskan
berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang dikategorikan
sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah
hadith-hadith Rasulullah, secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa
hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam sejarah
perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith syar’ah telah
mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah
yang melahirkan fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh
para sahabat dan para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah
hukum, dapat pula dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang
sejarahnya pula, norma-norma syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum
positif di kekhalifahan, kesultanan atau kerajaan Islam di masa lalu.
Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang dikenal dengan istilah Qanun itu.
Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di
bidang hukum yang amat luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas
filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadith,
maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan dirumuskannnya suatu
kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab
hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial
masyarakat di suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku.
Fikih Islam juga mengadopsi adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah.
Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih
Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa
dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman.
Walau, tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.
Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara
pada umumnya, dan kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung
abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa
telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya
belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas fikih
Islam dalam konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih
yang ditulis pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di
zaman keemasan Islam, dan ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk.
Namun demikian, upaya intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan. Di
Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya
menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya, mengingat
Melaka adalah negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang
sangat strategis itu. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu mengilhami
qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang lain,
seperti di Kesultanan Bima.
Keberlakuan Hukum Islam
Dengan uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum
Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang,
dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini.
Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat kepada
hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku
tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti
diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana
hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan
sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima
waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah
urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan
tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad
misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat
diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan
yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan
hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum
administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum
Islam.
Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang
memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat
Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan
adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah
haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini,
berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan
kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah
bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan
urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam
sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan
undang-undang dasar negara merdeka.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum
perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas
hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka
Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum
yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu
masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan
diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan
bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya
masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan
perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum
Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya
di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Setahun yang lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan
upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum
yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya adalah
bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu
saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi
warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan
diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan
Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum
Islamke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan
hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi
kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.
Syariat sebagai Sumber Hukum
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islamdalam
kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum
pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam
sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir.
Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan
hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya
merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau
kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak
sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada
sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara
lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam
untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata
terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada
perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung
kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa
Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada
perbedaannya.
Sudah barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya
mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam
fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif
sebagai hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang
sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan
berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhan karena
kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya.
Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang
mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan
secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya.
Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan
(sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di
dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat
Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau
akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian
besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan
di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah
hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi
huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan
penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok
literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi
dalam melaksanakan nash syar’iat yang tegas. Sementara kelompok moderat,
melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal
(ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik.
Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang
tidak akan diuraikan dalam makalah ini.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail
Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup
di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan
kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak
mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara
terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet
untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP
warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula
rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam,
walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan
diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.
Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi
oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai
hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang
salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain.
Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar
nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan
kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP
Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat
Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi
pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni
pidana penjara.
Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas
bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang
hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara
dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan
kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang
berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang
mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu
yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata
lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula
mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan
menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam
hal hukum publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan
aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi
sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat –
yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks
kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima
masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional
sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum
poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional
kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang
mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum
nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah
hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya
katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum
positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum
pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi
negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU
itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai
sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa
Indonesia sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular,
pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan
selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India
adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak
mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah
pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum
Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini
bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di
negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum
Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka
negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata
bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus
mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi
negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
Oleh: Yusril Ihza Mahendra
Sumber: http://yusril.ihzamahendra.com
15.53.00 | 0
komentar