Hai Sobat,  Selamat Datang di Blog Rahman Elharawy  |  masuk  |  daftar  |  butuh bantuan ?

Penerapan Hukum Pidana Islam Di Indonesia

Kejam dan tidak manusiawi. Begitulah kesan sebagian masyarakat kita terhadap hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah). Tiap mendengar pidana Islam, yang terbayang biasanya hukuman potong tangan dan rajam. Prof. Amin Suma, anggota Tim revisi KUHP, menyayangkan kesan yang keliru itu. “Hukum pidana Islam tidak hanya berisi hukuman atau uqubat. Hukum pidana Islam adalah sebuah sistem yang saling terkait,” ujarnya dalam sarasehan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah (HISSI) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pekan lalu.

KUHP atau wetboek van strafrecht merupakan kitab hukum warisan kolonial Belanda. Kitab ini ditetapkan dengan UU No. 1 Tahun 1946 dan dinyatakan berlaku berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958. Draf revisi KUHP hanya terdiri dari Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana. Keseluruhan terdapat 41 bab dengan 737 pasal. Draf revisi ini tidak lagi membedakan tindak pinda kejahatan dan pelanggaran.

Dalam makalah berjudul Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Indonesia, Ketua Tim Revisi KUHP Prof. Muladi menyatakan, revisi ini tidak hanya dimaksudkan sebagai upaya dekolonialisasi, tapi juga rekodifikasi. Sejumlah peraturan perundang-undangan pidana yang berdiri sendiri disatukan di KUHP. Selain itu, dilakukan pula harmonisasi KUHP dengan perkembangan hukum pidana internasional.

Revisi KUHP kini dilakukan secara sistemik dengan menyerap filosofi dan kultur yang ada di masyarakat. Dengan begitu, menurut Prof. Amin, hukum Islam yang telah berkembang di tanah air bisa diadopsi pula ke dalam KUHP. Jika menengok sejarah, hukum pidana Islam sudah pernah diberlakukan oleh beberapa kerajaan Islam di Jawa pada abad ke-16. “Buktinya waktu itu ditemukan banyak orang yang tangannya buntung karena dihukum potong tangan,” kata Prof. Amin. Hanya, pada masa kolonialisme, hukum pidana Islam nyaris tidak pernah diterapkan.

Sejatinya, hukum pidana dengan Fiqh Jinayah ini memiliki banyak kesesuaian. “Tidak perlu dipertentangkan,” tandas Prof. Amin. Ia memberi contoh asas legalitas. Hukum pidana menegaskan, seseorang tidak bisa dihukum jika tidak ada aturan yang melarang perbuatan orang itu. Fiqh Jinayah juga punya asas demikian. Prinsipnya, seluruh perbuatan pada dasarnya boleh dilakukan, kecuali jika ada peraturan yang melarangnya.

Salah satu konsep pertanggungjawaban pidana dalam Fiqh Jinayah yang bisa diadopsi KUHP adalah lembaga pemaafan. Seorang terdakwa bisa saja terbebas dari sanksi pidana jika ia dimaafkan oleh korban atau keluarga korban.

Menurut Prof. Amin, lembaga pemaafan ini bisa diefektifkan untuk mengurangi jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas). Bukan rahasia umum, kondisi lapas di negeri ini sudah overquote. Bukannya efektif menjadi lembaga rehabilitasi, lapas justru menjadi locus delicti bagi terjadinya tindak pidana, seperti tindak pidana narkotika. Belum lagi, negara harus menanggung biaya yang besar untuk menjamin kelangsungan hidup para narapidana.

Rupanya, draf revisi KUHP mulai memasukkan konsep itu. Meski tak sama persis, asas judicial pard on yang ada draf revisi KUHP memungkinkan seorang terdakwa mendapat ampunan dari majelis hakim. Namun, kewenangan hakim untuk memberi maaf diimbangi dengan asas culpa in causa yang memberi kewenangan hakim untuk tetap mengganjar terdakwa walaupun ada alasan penghapus pidana.

Hal lain dari Fiqh Jinayah yang bisa diadopsi ke dalam KUHP adalah konsep diyat. “Ini berbeda dengan konsep denda dalam hukum pidana,” kata Prof Amin. Diyat adalah pembayaran dalam jumlah tertentu yang harus diberikan terdakwa kepada korban atau keluarganya. Sedangkan denda harus diberikan kepada negara.

Dari beberapa segi, konsep diyat ini dinilai lebih pas memulihkan hak-hak korban tindak pidana. “Kalau yang dirugikan adalah korban, kenapa justru negara yang menerima denda dari terdakwa?” jelas Prof. Amin.

JM Muslimin, Ketua Assosiasi Dosen Syariah Indonesia, menyatakan, membumikan hukum pidana Islam bukanlah pekerjaan yang gampang. Dibutuhkan peran negara karena berkaitan dengan hukum publik. Ini berbeda dengan penerapan hukum perdata Islam.

Mesir, misalnya, sejak 1940-an menegaskan dalam konstitusinya bahwa satu-satunya sistem hukum yang dipakai di Negara Piramida itu adalah hukum Islam. Namun faktanya tak seluruh hukum Islam diterapkan di sana. Yang diberlakukan secara menyeluruh hanya hukum perdata Islam. Sementara hukum publiknya tetap mengacu kepada hukum warisan Perancis.

Sumber: http://amaduq01.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Chat



Diberdayakan oleh Blogger.