Indonesia memang negara musiman, musim bencana, musim pembunuhan mutilasi, musim narkoba, musim video porno, musim pelawak jadi pelawak Senayan sampai musim kekerasan yang dilakukan oleh anak yang direkam dalam kamera handphone.
Cukuplah kita membahas tentang musiman-musiman yang lain, dan sekarang yang perlu kita bahas adalah musim kekerasan yang dilakukan oleh anak (pelajar khususnya) yang direkam dalam kamera handphone plus dipublikasikan.
Dialog dalam Apa kabar Indonesia pagi hari ini, 25 Maret 2009 membahas tentang fenomena ini, kalo memang ini adalah sebuah fenomena. Dua pakar yang berkompeten di bidangnya masing-masing, yaitu pengamat pendidikan dan Kepala Pusat Informasi Humas Depdiknas dipertemukan dengan perspektifnya masing-masing.
Kepala Pusat Informasi Humas Depdiknas menuding manajerial kepala sekolah yang patut diperbaiki, mengingat munculnya permasalahan kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di lingkungan sekolah merupakan tanggung jawab kepala sekolah selaku pimpinan tertinggi dalam institusi tersebut. Kepala sekolah harusnya memiliki kebijakan bersifat preventif untuk menanggulangi kekerasan yang dilakukan oleh pelajar dalam lingkungannya. Kebijakan tersebut dapat berupa melarang siswanya membawa handphone saat mengikuti pelajaran, atau melarang membawa handphone dalam lingkungan sekolah.
Lain halnya dengan pengamat pendidikan, yang tak perlu disebut namanya. Permasalahan utama terletak pada labilnya emosi pelajar sehingga kekerasan muncul dan secara kebetulan ada media untuk merekam dan mempublikasikannya. Jadi adanya kebijakan yang dilakukan dengan melarang membawa handphone ke lingkungan sekolah tidak mencegah permasalahan utama yang terjadi, melainkan hanya mencegah efek publikasinya saja. Kekerasan yang dilakukan pelajar tetap tidak teratasi. Lain halnya kalo berkaitan dengan video porno yang beredar dikalangan pelajar melalui handphone. Untuk mencegah pelajar melihat video porno melalui handphone, kepala sekolah bisa membuat kebijakan melarang muridnya membawa handphone di lingkungan sekolah plus razia berkala untuk upaya kontrolnya.
Perspektif diantara keduanya sangat berbeda, dan tidak ketemu kalo diperbincangkan, karena di satu sisi menekankan pada kebijakan yang tidak tepat sasaran, di sisi lain penekanannya pada pembinaan mental pelajarnya. Perspektifku berbeda dari keduanya, walaupun ada kecenderungan mengarah pada kondisi psikologis pelajar, tapi bukan pembinaan mental solusinya.
Menurutku, dengan menggunakan tinjauan kriminologis, para pelajar yang melakukan kekerasan bukan merupakan fenomena baru dan menarik. Dari zaman saya menjadi pelajar, baik menengah pertama maupun atas, kurang lebih 10 sampai 15 tahun yang lalu, kekerasan pelajar sudah merupakan hal yang lumrah. Bedanya, 10 sampai 15 tahun yang lalu, informasi kekerasan pelajar hanya menular dari mulut ke mulut sedangkan sekarang dari bluetooth ke bluetooth. Itu saja, tidak perlu kita besar-besarkan. Akan tetapi yang menarik dan perlu dikaji dengan perspektif kriminologis adalah, mengapa para pelajar tersebut melakukan kekerasan.
Kalau kita bertanya mengapa para pelajar melakukan kekerasan, jelas perspektif Kepala Pusat Informasi Humas Depdiknas tidak menjawab permasalahan tersebut. Manajerial seperti apa yang dapat menyelami kondisi psikologis siswa? Apakah pembinaan moral yang kurang? Melalui apa pembinaan moralnya dan seperti apa bentuk kontrolnya? Jelas perspektif itu tidak tepat sasaran. Sedangkan perspektif sang pengamat pendidikan lebih dekat sasaran. Mengapa pelajar melakukan kekerasan? Karena labilnya mental pelajar? Pertanyaan berikutnya, kenapa mental tersebut labil dan bagaimana mengatasinya? Pembinaan mental sebagai solusi yang ditawarkanpun dirasa kurang lengkap, atau tidak cukup.
Dalam perspektif kriminologis, permasalahan tersebut dapat terjawab. Mengapa pelajar melakukan kekerasan? Kriminologi menjawabnya dengan teori pembelajaran social (social learning theory). Seseorang dalam melakukan suatu tindakan akan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengamatan dan pengalaman. A. Bandura dan Gerrard Patterson menyebutnya sebagai observational learning dan direct experience learning. Kekerasan yang dilakukan oleh pelajar menurut teori ini, disebabkan karena mereka mengamati hal-hal disekitarnya, orang tuanya melakukan KDRT atau tontonan televisi dan film yang mengumbar kekerasan serta mungkin ada pengalaman kekerasan langsung yang dilakukan terhadap mereka, baik melalui orang tua (KDRT) ataupun lingkungan pertumbuhannya.
Social Learning Theory ini didukung pula dengan teori perkembangan moral atau Moral Development Theory yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Menurut teori ini, perkembangan moral manusia berlangsung selama tiga tahap:
1.preconventional stage (usia 9- 11 tahun)
2.conventional level (usia 12-20 tahun)
3.postconventional level (usia >21 tahun)
pelajar menengah pertama atau atas termasuk dalam kategori conventional level dimana dalam tahapan ini seorang individu meyakini dan mengadopsi nilai yang berkembang di masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Jika lingkungan itu buruk, maka pengaruh yang buruk akan dengan mudah terserap oleh individu itu.
Jadi, usia pelajar adalah usia yang rentan untuk melakukan apapun sesuai dengan apa yang dipelajarinya melalui pengamatan dan pengalaman yang terjadi di sekitarnya. Terlepas dari permasalahan manajerial dan pembinaan moral, ada suatu unsure baru yang masuk dan perlu dipertimbangkan, yaitu kualitas tontonan usia pelajar di televisi sebagai salah satu sumber informasi. Jika kita perhatikan, kualitas sinetron, langsung saja saya menjudge sebagai bentuk pembodohan. Kenapa gitu? Kalau kita perhatikan, unsure kekerasan dan percintaan adalah unsure yang mendominasi selain unsure mistis yang semakin membawa pemuda kita ke zaman kegelapan kembali. Entah apa yang ada di dalam pikiran para produser sinetron itu, suatu hal yang tak kumengerti dalam Republik ini.
Kekerasan yang dipertunjukkan dalam sinetron saya anggap memiliki sumbangsih yang besar terhadap tingkah laku para penontonnya, dalam hal ini pelajar yang berada dalam tahapan conventional stage sehingga mereka berdasarkan observational learning merekam setiap adegan dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam benak mereka, karena itu diperbolehkan ditelevisi sebagai salah satu penyebar informasi, maka dianggapnya itu adalah hal yang tidak dilarang di masyarakat. Akibatnya, terjadilah dalam dunia nyata apa yang seharusnya tidak terjadi, bahkan di dunia film.
Permasalahan merekam dalam kamera handphone merupakan suatu bentuk antisocial baru yang berkembang dalam masyarakat. Mereka tidak perduli dengan kekerasan itu, bahkan mengabadikannya dalam sebuah media untuk ditonton dan disebarluaskan. Cara-cara yang biasanya ada di televisi-televisi melalui sinetron bodoh, yang ditonton oleh masyarakat yang ingin menjadi bodoh. Suatu bentuk imitasi sempurna yang dilakukan oleh pelajar kita.
Permasalahan KDRT sebagai pengalaman yang mungkin dialami oleh pelajar, undang-undang sudah menjadi alat preventif maupun represif. Bagaimana dengan persoalan sinetron pembodohan itu? Komisi Penyiaran Indonesia santai-santai aja melihat muatan pembodohan itu. Lembaga sensor tutup mata, tutup telinga dan tutup mulut persis seperti monyet kebajikan. Lalu siapa yang akan menyelamatkan anak bangsa dari moral penuh kekerasan? Majelis Ulama kah? Atau Front Pembela Islam (FPI) kah?
Suatu hal yang semakin tak kumengerti dalam Republik ini…
Sumber: http://te-effendi-kriminologi.blogspot.com/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar