Paradigma yang kini sering dipakai dalam perumusan kebijakan publik berlandaskan asumsi bahwa individu mengambil keputusan berdasarkan perhitungan rasional yang menguntungkan dirinya.
Di sini individu diasumsikan sebagai atom yang terisolasi dan tidak terpengaruh lingkungan sosial di sekitarnya. Untuk memudahkan, sebut saja paradigma ini sebagai paradigma individualistis.
Kebiasaan merokok
Dalam paradigma individualistis, manusia dianggap selalu bertindak secara sadar dan hanya demi kepentingan diri. Karena itu, fokus kebijakan publik adalah memberi insentif dan informasi yang membantu keputusan individu.
Untuk jelasnya, mari kita lihat sebuah contoh kasus, yaitu kebijakan untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Jika paradigma individualistis diterapkan dalam perilaku merokok, keputusan merokok diasumsikan sebagai keputusan pribadi. Di sini pilihan untuk merokok atau tidak tergantung pada hasil kalkulasi apakah merokok memberi keuntungan pribadi atau tidak.
Karena itu, kebijakan berdasarkan paradigma individualistis untuk menghentikan kebiasaan merokok adalah membuat insentif untuk tidak merokok, misalnya menaikkan cukai rokok, atau memberi informasi akan bahaya merokok dengan menuliskan peringatan bahaya merokok di setiap bungkus rokok.
Dua kebijakan itu akan amat efektif jika keputusan untuk merokok atau tidak merokok adalah keputusan pribadi yang tidak dipengaruhi keputusan atau perilaku orang lain.
Namun riset terakhir menunjukkan, keputusan berhenti merokok bukan keputusan pribadi, tetapi keputusan kelompok: perokok cenderung berhenti merokok secara bersama dalam sebuah kelompok. Mereka tidak berhenti satu per satu.
Hasil penelitian di Universitas Harvard dan Universitas California San Diego itu telah diterbitkan di jurnal The New England Journal of Medicine, Mei 2008. Subyek penelitian adalah perokok dan bukan perokok di AS beserta komunitas di sekitarnya, seperti keluarga, tetangga, rekan kerja, dan teman serta temannya teman. Data yang digunakan dari pengamatan selama 32 tahun, dari tahun 1971 hingga 2003.
Hasil penelitian itu menunjukkan, perokok cenderung berhenti merokok jika teman, keluarga, atau tetangganya juga berhenti merokok. Artinya, keputusan berhenti merokok bukan keputusan pribadi, tetapi lebih merupakan keputusan bersama dalam suatu kelompok atau komunitas.
Pengaruh sosial yang kuat bukan hanya memengaruhi keputusan berhenti merokok, tetapi juga memengaruhi keputusan untuk mulai merokok. Sebagai contoh, orang mulai merokok ketika masa remaja akibat dorongan teman-teman di sekolah.
Keputusan merokok lebih didorong oleh pengaruh sosial. Dari penelitian yang sama juga ditemukan kemungkinan seseorang merokok akan turun 25 persen jika saudara kandungnya berhenti merokok, turun 36 persen jika temannya berhenti merokok, dan turun 67 persen jika pasangan hidupnya berhenti merokok.
Fakta itu menunjukkan, kebijakan publik untuk mengurangi kebiasaan merokok akan lebih efektif jika diarahkan dalam level kelompok atau komunitas. Fakta juga menunjukkan, kebijakan publik itu bukan fokus pada masing-masing individu perokok seperti dalam paradigma individualistis. Menaikkan cukai rokok dan memberikan pendidikan akan bahaya merokok tidaklah cukup.
Untuk membuat kebijakan berdasarkan komunitas untuk menghentikan kebiasaan merokok perlu dilakukan pendekatan ke komunitas-komunitas tempat perokok terkonsentrasi. Sebagai contoh, perokok kalangan menengah atas dan berpendidikan tinggi mampu membeli rokok mahal dan tidak menghiraukan peringatan bahaya merokok. Bagi mereka, merokok menjadi simbol dan perekat pergaulan. Bagi kalangan ini, mungkin yang perlu ditonjolkan adalah gaya hidup tidak merokok sebagai simbol gaya hidup trendi yang mutakhir. Di sini, strategi yang dipakai mirip dengan strategi pemasaran gaya pakaian trendi.
Penyakit kegemukan
Tahun sebelumnya, tim peneliti yang sama melakukan riset tentang epidemi penyakit kegemukan (obesitas). Mereka menemukan, penyakit kegemukan dapat menyebar dalam jejaring sosial. Penyebaran terjadi karena orang cenderung meniru perilaku orang di sekitarnya, dalam hal ini perilaku yang ditiru adalah pola makan.
Berbagai penelitian ini membuka mata kita bahwa penyakit yang tidak menular bisa menjadi penyakit ”menular” melalui peniruan perilaku.
Ketika perilaku dapat menyebar—seperti kebiasaan merokok atau pola makan—kebijakan publik akan lebih efektif jika terfokus pada kelompok atau komunitas. Dengan kata lain, dalam memformulasikan kebijakan, tidaklah cukup menimbang baik- buruknya hanya untuk individu. Pembuat kebijakan harus sensitif terhadap konteks sosial tempat kebijakan itu akan diterapkan.
Secara umum ini menunjukkan, manusia tidak selalu mengambil keputusan secara pribadi seperti diasumsikan paradigma individualistis. Kita terkait satu sama lain dalam sebuah jejaring sosial, tempat keputusan yang diambil seseorang akan memengaruhi orang lain.
Memang perlu diakui, melakukan penelitian untuk kebijakan publik berdasarkan komunitas atau jejaring bukan hal mudah. Ini karena kita harus mengambil data perilaku seseorang berikut perilaku orang di sekitarnya. Selain itu, tidak semua kebijakan perlu didasari paradigma komunitas. Adakalanya kebijakan publik berdasarkan paradigma individualistis sudah cukup baik. Untuk masalah yang kompleks, sangat mungkin paradigma komunitas dan individualistis digabungkan.
Hal yang penting adalah adanya penelitian yang menunjukkan perilaku dapat menyebar dalam jejaring sosial. Ini memberi kita sinyal untuk lebih teliti dalam menyikapi kebijakan publik yang dibuat berdasarkan paradigma individualistis, seperti sering dilakukan banyak ekonom.
Penulis: Roby Muhamad, Kandidat Doktor Sosiologi, Universitas Columbia, New York
Sumber: http://cetak.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar