Dalam prakteknya, tidaklah mudah untuk menghadirkan sebuah kebijakan publik yang dapat memuaskan seluruh satkeholders atau kelompok kepentingan yang ada dalam lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan beragamnya aspirasi dan tuntutan yang harus diakomodir dalamsebuah kebijakan. Dalam konteks ini, Bromley (1989), menggambarkan adanya ‘hierarkhi kebijakan’ yang memaparkan kompleksitas proses kebijakan publik semenjak dirumuskan sampai dengan kebijakan tersebut diterapkan. Dalam konteks Indonesia, penerapan hierarki kebijakan tersebut dapat dijelaskan dengan analogi sebagai berikut: Pada tingkat politis, terdapat lembaga legislatif seperti DPR/DPRD, kemudian pada tingkat organisasi ditempati eksekutif seperti lembaga-lembaga departemen dan non departemen, sedangkan pada tingkat operasional atau implementasi kebijakan publik ditempati individu perorangan, petani, rumah tangga dan perusahaan. Dari analogi tersebut terlihat sangat jelas betapa kompleksnya lingkungan yang dihadapi kebijakan publik baik pada tingkatan politis, organisasi maupun pada tingkat operasional. (Wibowo: 2004).
Begitu kompleksnya proses pembuatan kebijakan publik, sehingga dalam kenyataannya sering terjadi anomali-anomali yang disebabkan oleh besarnya kepentingan subyektif para pembuat kebijakan publik itu sendiri. Dalam konteks Kota Yogyakarta, contoh kasus yang dapat dikemukakan untuk menggambarkan hal ini adalah polemik yang terjadi di DPRD Kota Yogyakarta tentang pengadaan meubel seharga 1,9 miliar. Yang membuat kita semua semakin merasa risih karena polemik yang terjadi tersebut justeru datang dari sesama anggota Dewan. Pertanyaan mungkin akan muncul di kalangan masyarakat awam: “Ada apa dengan Meubel Dewan Kota?” Tulisan ini tidak bertendensi untuk mencari tahu siapa yang benar atau salah di antara pihak yang bertikai, tapi ingin melihat secara jernih dari kacamata kebijakan publik.
Secara legal formal, pengadaan meubel Dewan Kota berdasarkan pada APBD 2005 yang telah diputuskan Dewan Kota beserta Pemerintah Kota pada awal Januari lalu. Kalau saat ini di antara sesama anggota Dewan muncul konflik tentang pengadaan meubel, maka sesungguhnya kejadian ini merupakan gambaran bahwa pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif di Kota Yogyakarta seperti dalam penetapan PERDA tentang APBD 2005 belum sepenuhnya memadai. Kecurigaan mengenai adanya praktek kolusi dalam pembuatan kebijakan publik oleh eksekutif dan legislatif menjadi mungkin benar adanya. Perang pernyataan sesama anggota Dewan, Kota Yogyakarta dari statment: “Dewan bukan kebun binatang” (Radar Jogja: 08/ 09/05) sampai “Kekayaan anggota Dewan perlu diaudit” (Radar Jogja: 09/09/05) semakin memperjelas bahwa hampir semua proses pembuatan kebijakan yang dibuat pemerintah dan legislatif di Kota Yogyakarta masih didominasi kepentingan elit ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat luas sebagaimana diamanatkan kepada mereka.
Melihat realitas yang ada, sungguh sangat memprihatinkan. Belum lagi kalau kita mau menelusuri lebih jauh tentang keberadaan Dewan Kota Yogyakarta, bagaimana kinerja serta bagaimana sumber daya yang ada di gedung megah nan terhormat itu. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan penulis pada awal tahun 2005 tentang partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik di Kota Yogyakarta, menunjukkan bahwa sejak tahun 1999 hingga saat ini, Dewan Kota Yogyakarta tidak pernah menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan sebuah RAPERDA, walaupun kesempatan untuk membuatnya sangat terbuka lebar karena hak untuk itu diakui oleh undang-undang dan diatur dalam Tatib DPRD Kota Yogyakarta. Hal ini lebih diakibatkan oleh keterbatasan sumber daya manusia (SDM) sehingga belum mampu membuat sebuah PERDA yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dan akademis.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa keberadaan DPRD Kota Yogyakarta tidak lebih dari ‘tukang stempel’ bagi seluruh kebijakan yang dibuat Pemerintah Kota Yogyakarta. Kondisi ini seharusnya dapat dijadikan pelajaran bagi masyarakat, agar pada masa yang akan datang masyarakat Kota Yogyakarta harus lebih rasional dalam memilih wakilnya untuk duduk di DPRD, sehingga mereka yang dipercayakan membawa mandat masyarakat tersebut dapat lebih serius dan mampu memperjuangkan hak-hak masyarakat yang diamanahkan kepadanya. Hal ini dirasakan sangat penting kerana kedepan kita juga berharap anggota Dewan Kota Yogyakarta mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara lebih memadai dari sebelum-sebelumnya. Tentunya, kedepan masyarakat juga ingin melihat Dewan Kota Yogyakarta dapat membuat kebijakan publik, seperti PERDA yang secara rill merupakan eskpersi tulus mereka untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat Kota Yogyakarta yang telah menempatkan mereka pada derajat yang terhormat.
Selain lemahnya kinerja dan kualitas anggota Dewan Kota Yogyakarta yang sampai saat ini belum memadai, masih ada hal lain yang membuat kita sebagai warga masyarakat Kota Yogyakarta merasa resah, yaitu tantang adanya isu yang beredar di kalangan aktivis dan LSM mengenai adanya mafia dan percaloan dalam tender-tender proyek Pemerintah Kota oleh oknum-oknum anggota Dewan Kota Yogyakarta. Kalau benar adanya, maka lengkaplah penderitaan masyarakat Kota Yogyakarta ditengah krisis ekonomi dikarenakan melemahnya nilai tukar rupaiah terhadap dollar serta naiknya harga BBM dunia sehingga berdampak besar terhadap kehidupan ekonomi masyarkat.
Pada hakekatnya diskursus mengenai kebijakan publik sangat berkaitan erat dengan konsep demokrasi. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Bila keduanya tidak bisa disatukan maka hampir dapat dipastikan bahwa kebijakan publik justru sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan publik itu sendiri, bahkan tidak jarang hanya akan menjadi alat bagi elit politik untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dan manipulatif demi kepentingan mereka sendiri. Salah satu cara praktis untuk memantau proses pembuatan kebijakan publik adalah dengan menilai seberapa jauh masyarakat mengetahui dan memiliki kemauan ikut dalam perumusan kebijakan yang sedang diproses di lembaga pengambil keputusan sehingga dapat diidentifikasikan apakah interaksi masyarakat dalam politik keseharian telah sesuai dengan proses demokratisasi dan desentralisasi yang memang bertujuan untuk mendekatkan proses pembuatan kebijakan pada masyarakat secara langsung.
Pertanyaan selanjutnya, Mungkinkah RAPERDA-RAPERDA yang telah diusulkan Pemerintah Kota Yogyakarta kepada DPRD Kota yang sampai hari ini masih ‘terbengkelai’ akan bernasib sama dengan ‘meubel Dewan Kota’ yang hanya akan melahirkan polemik dan konflik kepentingan antar sesama anggota Dewan? Tentunya sebagai bagian dari masyarakat yang turut peduli terhadap kepentingan masyarakat luas, kita semua tidak berharap demikian. Oleh karenanya, untuk meminimalisir konflik kepentingan elit maka dalam seluruh proses pembuatan kebijakan publik, pihak legislatif dan eksekutif harus benar-benar berusaha melibatkan kelompok masyarakat, organisasi keagamaan dan masyarakat serta LSM sejak perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan sampai dengan pemanfaatan hasil yang dicapai.
Secara ideal, lahirnya kebijakan publik yang dikeluarkan DPRD dan Pemerintah Kota Yogyakarta merupakan upaya untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat di Kota Yogyakarta itu sendiri. Karena kebijakan publik merupakan upaya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi masyarakat, maka sepatutnya kebijakan itu harus berorientasi pada kepentingan masyarakat luas. Konsekuensinya, masalah dan solusi alternatif permasalahan itu juga diharapkan berasal dari masyarakat, bukan sekedar cetusan pikiran atau bahkan imajinasi dari pejabat pembuat kebijakan (eksekutif dan legislatif) an sich. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat dianggap penting dalam penyusunan kebijakan, karena masyarakatlah yang paling memahami dan merasakan langsung kebutuhan dan masalah yang dihadapinya. Dengan bersandar pada kondisi riil di masyarakat, kebijakan yang dibuat tersebut juga akan diterima oleh masyarakat secara wajar, sekaligus memiliki daya berlaku yang efektif.
Dengan melihat ketimpangan yang masih terjadi dalam realitas penyelenggaraan pemerintahan Kota Yogyakarta saat ini, seharusnya pihak eksekutif dan legislatif mulai berpikir serius untuk memperbaikinya sebagaimana arahan good governance. Tentunya keseumuanya itu dilakukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan Kota Yogyakarta sebagaimana terkandung dalam Slogan Kota Yogyakarta: “Berhati Nyaman”, sebagai sebuah konsensus yang hendak dicapai pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Kota Yogyakarta.
Oleh: Ahmad Yohan
Sumber: http://barisanmuda.yohan.info
0 komentar:
Posting Komentar