Pengantar
Di tengah ketegangan perpolitikan nasional dan regional, kita bisa menangkap bahwa bahwa politik kita telah kehilangan adab (loss of adab).
Berkaitan dengan politik beradab ini, maka Imam al-Ghazali cukup tepat
ditempatkan sebagai cermin. Corak pemikiran politik Imam Al-Ghazali di
latar belakangi oleh pengalaman-pengalaman Al-Ghazali dengan dunia
kekuasaan pada masanya dan kepakaranya dalam berbagai bidang ilmu. Di
zaman Imam al-Ghazali, praktik-praktik politik banyak yang menyimpang
dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah gunaan kekuasaan,
perpecahan umat dan krisi ulama’. Al-Ghazali melihat, problem itu
bermuara dari krisis keilmuan. Oleh sebab itu, kritik Imam al-Ghazali
ditujukan kepada para ulama’ sebagai pengemban ilmu. Kedzaliman ilmu
telah membuat krisis epistemologis yang berujung kepada lemahnya umat
melawan kekuatan-kekuatan asing, termasuk kekalahan dalam perang salib[1]. Kritik-kritik tajam al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karyanya, seperti Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddin, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Fadhaih al-Batiniyah.
Selain memperbaiki problem epistemologis, imam al-Ghazali juga
mempunyai misi misi mempersatukan umat dalam satu bendera akidah,
membuang fanatisme kesukuan dan nasionalisme sempit.
Kitab Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk
adalah karya utama tentang politik beliau yang berisi nasihat-nasihat
untuk penguasa. Karya itu adalah kumpulan tulisan beliau yang
dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik dari dinasti Saljuk. Menurut
Imam al-Ghazali, khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at.
Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Maka,
menurut beliau keberadaan negara adalah sangat urgen. ”Keteraturan agama tidak bisa dihasilkan kecuali dengan seorang Imam (pemimpin negara) yang ditaati”, kata al-Ghazali[2]. Oleh
karena itu, seorang sultan beserta perangkat-perangkat politiknya harus
menjalankan tugas sesuai dengan adab berpolitik. Jika seorang sultan
yang menjaga adab berpolitik, menurut al-Ghazali, maka sebenenarnya
politik, dalam hal ini adalah tugas mulia. Jika penguasa dan pejabat
negara berbuat dzalim, hendaknya dijauhi[3].
Kegelisahan
Imam al-Ghazali terhadap penyimpangan penguasa Buwyhids waktu itu,
menyimpulkan dalam pikirannya, bahwa krisis penguasa sebenarnya berakar
dari krisis ulama. Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, beliau berpesan: Sesungguhnya,
kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan
kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama
disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai
oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi
penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal[4].
Di
samping krisis ulama’ dan penguasa, pada masa al-Ghazali sempat
berkuasa pemimpin yang beraliran menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah.
Pada masa kekuasaan Buwaihiyah, tidak saja mereka beraliran Syi’ah,
akan tetapi mereka juga bersikap oposan terhadap kekhalifahan Abbasiyah
dan melakukan tindakan korupsi dan politik kotor. Mereka jelas tidak
mengakui kekhalifahan Abbasiyah yang Sunni. Ironisnya, beberapa khalifah
Abbasiyah seperti al-Mustakfi (333-334), al-Muti’ (334-363), al-Ta’i
(363-381) menggantungkan pada hegemoni Buwaihiyah[5].
Kondisi ini mendorong al-Ghazali menulis kitab Fadaih Batiniyyah yang berisi kritik terhadap doktrin Syi’ah batiniah dan konsep Imamah Syiah. Pada bab tujuh kitab Fadaih Batiniyyah
Imam al-Ghazali menuangkan kritik-kritiknya tentan kebatalan konsep
Imamah dan membongkar kelemahan argumen mereka yang mendasarkan
konsepnya dengan nas-nash al-Qur’an[6].
Dari karya-karya beliau dalam Ihya Ulumuddin, Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddi, dan Fadaih Batiniyyah
kita bisa menangkap bahwa sosok al-Ghazali adalah ilmuan yang
menerapkan integralitas ilmu, sehingga sebagai seorang yang pernah masuk
ranah politik juga menerapkan integralitas antara ulama-umara, dan
agama-politik. Corak pemikirannya yang anti-dikotomis ini menarik untuk
direlevansikan pada dunia politik saat ini.
Latar Belakang Perpolitikan Semasa al-Ghazali
Sebelum
al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) lahir peta perpolitikan terpecah
dalam beberapa faksi yang berakar dari perbedaan madzhab kalam. Dalam
wilayah Daulah Abbasiyah (132-656 H) berkembang aliran Mur’jiah, Syiah
dan Ahlussunnah. Kelompok besar yang berkonflik adalah Syiah dan
Ahlussunnah. Di samping itu kekuasaan Daulah Umaiyah di Andalusia masih
terdapat sisa-sisa yang terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Sedangkan di Mesir, berkuasa Daulah yang dipimpin kelompok Syiah
Isma’iliyah.[7]
Ketika
kekuasaan Abbasiyah mengalami kemerosotan, dinasti Buwaihi (333-447) di
bawah Mu’iz al-Daulah ibn Buwaihi memaksa menguasai kekuasaan Abbasiah.
Dinasti Buwihi masuk perpolitikan Abbasiyah. Mereka mendirikan
institusi Sultan, yang sebelumnya tidak ada dalam Abbasiyah. Institusi
Sultan berhasil memperdayai Khalifah di tubuh Daulah Abbasiyah. Peran
Khalifah seakan tidak berdaya, yang berkuasa penuh adalah Sultan – dari
orang Buwaihi yang berpaham Syi’ah. Bahkan Khalifah Al-Fadal tidak
memiliki kekuatan apapun, ia bahkan samapi dikurung oleh orang-orang
Buwaihi. Khalifah pada masa itu seperti sekedar menjadi boneka
orang-orang Buwaihi.[8]
Akhirnya,
kekhalifahan dikuasai oleh Dinasti Buwaihi selama 110 tahun. Di samping
melakukan penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam, yang juga
memprihatinkan adalah kalangan pejabat pemerintah banyak melakukan
korupsi[9].
Di bawah penguasaan pejabat Buwaihi spiritual umat mengalamai
kemerosotan. Di antara ulama juga banyak terjangkit penyakit-penyakit
hati.
Bahkan
Buwaihi bercita-cita mengubah kerajaan Abbasiah menjadi kerajaan Syi’ah
Zaidiyah, bahkan salah seorang sultannya, Abu Kalijar mengungumkan
bahwa Abbasiah berafiliasi ke Dinasti Fatimi Mesir yang berpaham Syi’ah
Ismailiyah[10].
Namun pada tahun 1055 dinasti Seljuk yang Sunni berhasil menguasai
Baghdad. Dinasti Buwaihid pun menjadi lemah. Meskipun otoritas politik
Daulah Saljuk dipegang oleh sulatan yang dilimpahkan kepada wazir bukan
Khalifah, namun yang menjadi dinasti ini berjaya adalah perhatian
sulatan dalam peningkatan keilmuan warganegara dan memperbaiki pemikiran
umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan mendirikan madrasah Nizamiyah
yang salah satunya menyebarkan paham Sunni.[11] Bahkan menurut al-Subki, Nizam al-Muluk mendirikan 9 madrasah selain madrasah Nizamiyah.
Dinasti
Seljuk pun menguasai hampir seluruh negeri, meski di bebarapa wilayah
Buwaihi memiliki kekuasaan. Di bawah Tughrul Beg, kekacauan masyarakat
dan pejabat negera diakhiri dan mendirikan perubahan penting terutama
dalam peningkatan pengetahuan masyarakat. Yang utama adalah mereka
berjasa mendirikan perguruan Nizamiyah.[12]
Di perguruan Nizamiyah inilah karir keilmuan al-Ghazali memuncak,
setelah dingkat Khalifah sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah.
Kepedulian
Sultan Saljuk terhadap ilmu ternyata membawa angin positif bagi masa
depan perpolitikan Nizam al-Muluk. Beberapa kerajaan bergabung
diantaranya, Gaznawi India, kerajaan di Sudan. Dan pada saat yang sama
dengan sendirinya pengaruh Syiah merosot hingga ke negeri mesir. Hal
inilah yang menyebabkan Dinasti Fatimi Mesir merosot drastis menuju
keruntuhan. Fatimiyah diliputi krisis multidimensional, mulai ekonomi,
politik, dan sosial. Masa ini merupakan era kejayaan Sunni dan
kemerosotan Syiah. Di samping dinasti Fatimi, di selatan kerajaan Ismili
Yaman yang berkuasa mulai tahun 438-569 H di bawah Bani Sulaihi pun
juga menyusut.[13]
Seluruh
komunitas Sunni di hampir seluruh negeri menolak kehadiran syiah
batiniyah, yang disamping menyimpang, mereka juga menunjukkan gerakan
militan radikal. Atas dasar inilah Nizam Muluk melarang aliran batiniyah
berkembang di wilayah negerinya. Di sini imam Ghazali memainkan
peranannya sebagai ilmuan Islam. Ia menulis buku Fadaih al-Batiniyah yang mengkritik pemikiran syiah batiniyah.
Gerakan
politik Syiah di Irak bukan berarti mati, ketika kerajaan-kerajaan
Syi’ah mulai menyusut, militan syiah bergerak di bawah tanah. Pada tahun
1092 mereka bahkan tiba-tiba mulai tunjukkan kekuatan yang dipimpin
oleh Hasan Ibn al-Sabbah. Bahkan secara mengjutkan, syiah batiniyah
membantai Nizam Muluk.
Pasca
wafatnya Nizam al-Muluk inilah kebesaran Abbasiah mulai turun pada
tahun 485 H. Hal ini membawa dampak buruk bagi kehidupan perpolitikan
dan keilmuan di negeri Irak. Kejatuhan khalifah berdampak pada
kembalinya budaya korupsi di kalangan pejabat, munculnya ulama’ suu’
(jahat) dan pertikaian dengan kelompok sempalan.[14]
Situasi seperti ini yang menjadi tantangan besar bagi Imam al-Ghazali.
Ia mempunyai dua tugas besar yang harus diemban, pertama, memperbaiki
pemahaman ilmu masyarakat dan kedua ia memiliki kewajiban politik untuk
mengingatkan pejabat, sebagaimana yang sudah ia lakukan pada
pejabat-pejabat dinasti Saljuk.
Pengalaman-pengalaman
dalam situasi sosial politik seperti tersebut di atas ditambah dengan
corak keilmuan Imam al-Ghazali inilah yang membentuk karakter pemikiran
al-Ghazali tentang politik Islam. Al-Ghazali telah menunjukkan sebagai
ulama yang memiliki pemikiran cemerlang yang disegani dan diteriman oleh
para pejabat negara serta para ulama lainnya. Penulis menilai corak
pemikiran politiknya sangat benuansa etika dan adab politik. Pemikiran
yang cukup menarik adalah dalam teorinya bagaimana cara menjalankan
sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan moralitas untuk
kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi
ditopang dengan kekuatan moral yang memenuhi beberapa kriteria yang
al-Ghazali idealkan[15]. Pemikiran seperti ini sangat relevan untuk dijadikan referensi bagi para pejabat saat ini.
Adab Berkuasa Menurut al-Ghazali
a. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pikiran-pikiran utama al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam buku al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk.
Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad
ibn Malik Syak dari dinasti Saljuk. Kumpulan nasehat ini ditujukan
kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik Syah dari dinasti Seljuk.
Sebagai
ilmuan yang memiliki pemikiran dan jiwa yang tajam, al-Ghazali berusaha
menempatkan diri sebagai agen perubahan dalam perbaikan pemerintahan.
Yang menarik, beliau tidak terjun langsung di dalam praktisi
pemerintahan, namun ia berposisi sebagai ulama yang berkewajiban amar
ma’ruf nahi munkar kepada umara, bukan sebagai oposisi akan tetapi
sebagai mitra menyebarkan ma’ruf dan menjegah yang munkar. Karena
al-Ghazali melihat, dinasti saljuk – di luar sisi-sisi negatifnya
seperti penyalahgunaan wewenang dan ketidaksiplinan moral – sultan masih
sangat memperhatikan perkembangan pendidikan dan keilmuan warga negara
dan pada taraf perbenturan teologis, sultan bertempat pada posisi yang
tepat.[16]
Oleh karena itu, al-Ghazali melihat pemerintahan masih dapat
dipertahankan dan diperbaiki. Itulah sebabnya ia menulis surat-surat
yang berisi nasihat.
Dengan mengkaji pemikirannya dalam al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk al-Ghazali hendak melakukan reformasi moral terhadap pemerintahan. Reformasi moral ini bagi al-Ghazali menjadi kewajiban bagi ’alim dan cendekiawan ahli syari’ah. Ia mengatakan: ”Seorang
faqih adalah orang yang menguasai aturan-aturan politik Islam dan
mengetahui cara sebagai mediator diantara manusia (pejabat negara) jika
berselisih dengan hukum yang tidak benar. Maka seorang fakih hendaknya
menjadi guru dan membimbing sultan.”[17]
Kandungan
utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua
poin besar. Pembahasan pertama, al-Ghazali memprioritaskan pada
kekuatan akidah tauhid, yang kedua berisi naihat-nasihat moral, keadilan
keutamaan ilmu, dan ulama. Atas dasar itu, al-Ghazali merasa memiliki
kewajiban untuk memperbaiki ilmu masyarakat dan pejabat negara.
Kegelisahan yang membuat al-Ghazali memeras pikiran, adalah fenomena Syiah Batiniyah[18]
yang pelan-pelan merebak di saentero negeri. Meskipun Sultan dan
Khalifah tidak terpengaruh oleh ideologi Batiniyah – akan tetapi
al-Ghazali merasa nasihat-nasihat tentang tauhid sangat perlu bagi
pejabat negara dalam situasi seperti itu.
Dalam
awal naskah nasihatnya, al-Ghazali memulai dengan kaidah-kadiah Iman.
Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan
yang benar, al-Ghazali ingin mengingatkan sultan bahwa kekuasaan
tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah SWT). Dalam hal ini,
tampaknya juga secara implisit al-Ghazali memberi peringatan bahwa
kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah SWT. Allah memberi amanah kepada
sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. Dalam
sub-sub babnya, al-Ghazali menulis tentang Keesan-Nya, tiada satu pun
yang menyamai-Nya, sifat-sifat Allah, mengingatkan tentang akhirat, dan
tugas Nabi Muhammad.[19]
Pembahasan tersebut adalah pembahasan utama dalam rangka menjaga basicfaith para pejabat negara agar stabil loyal dalam pandangan hidup Islam. Disamping itu, untuk mempertahankan basicfaith
warga negara saat itu al-Ghazali melakukannya dengan mengkritik dan
menjawab syubhat-syubhat Syi’ah. Hal itu diwujudkan dengan menulis kitab
al-Fadaih al-Batiniyyah. Al-Ghazali merupakan pemikir aktif.
Di satu sisi ia memberi penguatan iman baik kepada pejabat negara maupun
kepada masyarakat dengan mengajar ilmu di madrasah Nizamiyah juga
melakukan kritik terdapat pemikiran yang menyimpang. Penguatan dan
kritik (istbat wa nafyu ) ini merupakan dua kewajiban yang memang mestinya berjalan sinergis.
Nasihat
tauhid ini penting karena, demi melindungi pejabat-pejabat negara agar
tidak terpengaruh denga pemikiran Syi’ah Batiniyah sekaligus juga
membentengi rakyat dari pemikiran menyimpang tersebut. Sebab, Batiniyah
terkenal sebagai kelompok sempalan yang radikal. Gerakan Bathiniyah
merupakan kelompok atau aliran yang terisolir dan sangat dimusuhi oleh
seluruh aliran pemikiran lainnya, baik dari kalangan Ahli Sunah
Asy’ariah, Maturidiyah, ataupun dari kalangan Mu’tazilah. Bahkan dari
kalangan Syi’ah sendiri ikut mengkafirkan mereka, seperti Syi’ah
Imamiyah (Itsna ’asyariah), atau golongan Syi’ah Zaidiyah .[20]
Oleh
karena itu al-Ghazali menentang setiap klaim-klaim golongan Batiniyah
baik klaim teologis maupun politis. Klaim teologis Batiniyah sangat
jelas bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas umat Islam. Mereka
meyakini bahwa semua teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali mengandung
makna lahir dan batin.[21] Batiniyah sebenarnya adalah kelompok yang bertopengkan Islam. berasumsi bahwa teks-teks agama mengandung makna lahir dan batin.[22]
Klaim politis – yang sebenarnya juga berkait dengan telogi Syi’ah yang
mengatakan bahwa keimamahan itu diwariskan yang harus dipegang oleh para
Imam keturuunan Ali r.a. Jika imam telah meninggal dunia maka, yang
menggantikan adalah wakil imam.
Selain
itu, pemikiran Batiniyah lain yang ditentang mayoritas ulama adalah
bahwa mereka percaya al-Qur’an memiliki arti tersembunyi yang berbeda
dari arti zahirnya. Menurut mereka, yang mengetahui kebenaran dan
mengkoreksi pemahaman al-Qur’an baik yang eksplisit maupun implisit.
Memahami al-Qur’an seperti itu diperoleh melalui ta’lim (pengajaran oleh
yang memiliki otoritas yaitu Imam, wakil imam atau orang yang diberikan
oleh Imam).[23]
b. Tugas Penting Khalifah
Nasihat-nasihat
al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik sultan
Seljuk. Terutama sekali meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Nizam al-Muluk
menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut sultan tujuan
utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirna Islam Sunni.[24]
Selanjutnya di pembahasan berikutnya, al-Ghazali memulai dengan adab dan etika seorang pemimpin. Yang pertama-tama harus dipahami, menurut al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya – jika tidak amanah.
Al-Wilayah
adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT jika digunakan untuk
kemaslahatan umat manusia. Maka apabila seseorang diberi kenikmatan
tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat
tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kukuasaannya
serta mengikuti hawa nafsunya, maka pemimpin yang demikian, menurut
al-Ghazali telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah.[25]
Jika
seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah SWT
sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahayanya seorang
pemimpin. Sebagaimana peringatan Rasulullah SAW bahwa seorang pemimpin
harus memperhatikan tiga perkara, pertama, apabila rakyat
meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih
kepada mereka, kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil,
ketiga, lakasanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji)[26]. Imam al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa jika tiga perkara tersebut ditinggalkan maka bahaya negara akan mengancam.
Untuk
menghindari hal tersbut, al-Ghazali mengingatkan seorang sultan atau
khalifah tidak boleh meninggalkan Ulama. Namun, seorang sultan juga
harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama
Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya,
mereka selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya
selalu mengarah pada duniawi. Sebalikanya seorang ulama sejati (ulama
al-akhirah) ia sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan
seorang raja, ia memberi nasihat murni ikhlas karena meminginginkan
perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.[27]
Imam
al-Ghazali tampak tidak ingin memisahkan negara dan urusan agama. Dari
usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat bahwa memang, negara
yang ideal adalah negara yang orang-orangnya memiliki basicfaith Islam
yang kuat, sehingga negara diurus dengan parameter syari’ah. Usaha
al-Ghazali menuai hasil yang bagus, kadaan negara stabil, syari’ah
diamalkan, dan pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau oleh warga
negara, dan banyak kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung
Nizam Muluk.
Setelah seorang pemimpin itu memiliki basicfaith yang
kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah,
menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya setiap
pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur
seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena
akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan yang tentu menarik pada
pertumpahan darah[28].
Untuk
itulah, seorang raja harus rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas
baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil,
al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap
kebutuhannya adalah lebih baik daripada menyibukkan diri beribadah
sunnah. Mereka rakyat kecil adalah lemah, maka harus deperlakukan denga
lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan sultan agar jangan
sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat[29].
Ada
dua penting yang ditekankan oleh al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya.
Yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampaknya bagi al-Ghazali
merupakan faktor utama menjadi hamba Allah SWT sejati. Dengan istilah
lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah al-tasawwur al-Islamiy (pandangan hidup Islam). Karena al-tasawwur al-Islamiy
adalah asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas
ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak
pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat
direduksi kedalam pandangan hidup.[30]
Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh,
maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (Insan adabi)
adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada
Tuhan Yang Maha Benar, yang memahami dan menunaikan keadilah terhadap
dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya
meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia.[31]
Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai
al-Ghazali pada masa itu. Tantangan perang pemikiran dan degradasi
moral. Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab
tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.
Kesimpulannya,
al-Ghazali dalam teori kenegaraannya mengutamakan perpaduan moral
dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan dipimpin oleh manusia biasa,
akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan
kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan akhirat.
Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan, agama adalah
pondasi sedangkan pemerintahan adalah penjaga.
Urgensi Negara Menurut al-Ghazali
Sebagaimana
para pemikir muslim sunni lainnya, al-Ghazali berpendapat bahwa wujud
sebuah pemerintahan yang syar’i harus ada. Jika tidak ada pemerintahan
yang memegang otoritas publik, maka hal tersebut menyebabkan kekacauan,
permusuhan, pertumpahan darah, kemiskinan, dan tidak stabilnya ekonomi
masyarakat[32].
Apalagi sebagaimana disebut di atas bahwa tidak ada dikotomi antara
agama dan negara. Maka keberadaan pemerintahan sangat signifikan dalam
mewujudkan masyarakat dan perdamaian.
Ketertiban
merupakan keniscayaan bagi keberlangsungan kehidupan beragama. Dan
kestabilan kehidupan beragama sangat penting untuk mencapai
kesejahteraan dunia akhirat. Negara adalah suatu prasyarat penting bagi
berlangsungnya hukum-hukum Allah SWT untuk ditegakkan di muka bumi.
Tanpa pemerintahan, kehidupan masyarakat tidak dapat diwujudkan dengan
baik.
Bagi
al-Ghazali, politik juga tidak hanya bertujuan untuk menghindarkan
pergolakan sosial melalui pemberlakukan hukum dan ketertiban dan
manajemen publik oleh agen negara, tetapi juga bertujuan untuk
menghindarkan pergolakan sosial melalui bimbingan dan kepemimpiann yang
diberikan oleh penguasa dengan pelayanan menarik[33].
Oleh
karena itu, al-wilayah (kepemimpinan) adalah profesi yang ditipkan oleh
Allah SWT yang dibutuhkan oleh warga negara. Karean begitu pentingnya
profesi ini, al-Ghazali berpendapat bahwa, seorang pemimpin harus
memiliki kompetensi yang cakap[34].
Mengenai pemimpin ideal, pendapat al-Ghazali hampir sama dengan al-Mawardi tentang kriteria pemimpin yang ideal. Yakni seorang
yang mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis),
melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim
(tirani). Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas,
penguasaan dalam bidang ilmu Negara dan agama, agar dalam dalam
menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca
inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat
menghalangi ia menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal
tidak cacat yang dapat mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian
siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan
rakyat.[35]
Selain itu, bagi al-Ghazali tujuan pendirian kekhalifahan adalah untuk
dalam rangka memenuhi kebahagian akhirat manusia. Dalam hal ini
al-Ghazali cenderung perpadangan jauh ke depan[36].
Namun, jika seorang sultan itu dzalim dan sudah membahayakan agama,
maka harus dilihat lagi keabsahan kekuasaannya. Baik itu diberhentikan
atau harus berhenti sendiri.[37]
Ia
menerangkan bahwa, selama sultan itu masih menerpakan hukum Islam,
hanya saja etika politiknya kurang baik maka sultan harus diingatkan –
dan belum perlu untuk diberhentikan, apalagi jika pemberhentian itu akan
melahirkan kekacauan. Sedapat mungkin rakyat memperkecil hubungan
dengannya dalam arti memboikot sampai ia kembali baik.
Negara,
berkewajiban menyediakan bantuan kepada rakyat untuk memasksimalkan
kehidupan di bumi dengan penuh tanggung jawab. Kondisi jiwa dan fisik
harus dilindungi dengan bijaksana, dengan bantuan ulama menjaga
kestabilan sosial spiritual berdasarkan keimanan. Kehidupan dunia adalah
sementara, maka manusia perlu dipersiapkan secara matang untuk menuju
kehidupan yang hakiki. Karena kebahagiaan sejati itu hanya didapat
ketika di akhirat (surga) kelak.[38]
Hal
tersebut menunjukkan secara jelas bahwa urusan agama dan dunia tidak
dapat dipisahkan. Korelasi ini oleh al-Ghazali dikuatkan dengan sebuah
hadis Nabi SAW bahwa dunia adalah bagaikan ladang yang manusia dapat
memanen hasilnya di akhirat kelak. Sedangkan untuk menjaga kestabilan
dunia diperlukan sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan syari’ah.
Negara adala penjaga bagi terlaksananya hukum-hukum agama Islam[39].
Berarti, pemikiran politik yang ditawarkan bukanlah pemikiran
pragmatis, karena al-Ghazali konsisten bahwa pendirian negara tidak
sekedar demi terlaksananya kepentingan individu atau kelompok, akan
tetapi ia menginginkan perbaikan semua umat manusia di dunia. Ia tidak
hanya mengarahkan pendidikan fisik dan moralitas akan tetapi lebih jauh
al-Ghazali semuanya itu menurut beliau adalah dianggap sangat penting
agar dapat selamat dan bahagia di akhirat.
Maka, mengangkat pemimpin (imamah) adalah wajib. Beliau memberi argumentasi:
لايØصل
نظام الدين إلا بإمام مطاع، صاØب الشرع هو الإمام المطاع، ونظام الدين لا
ÙŠØصل إلابنظام الدنيا ونظام الدنيا لايØصل إلا بإمام مطاع، نظام الدين
لايØصل إلا بإمام مطاع[40]
Oleh
karena itu al-Ghazali berpendapat, peraturan syara’ tidak berjalan
sempurna dan efektif kecuali didukung oleh adanya pemerintahan yang
Islami, menurut beliau nidzamu al-dunya syartun li nidzami al-diin[41]. Argument-argumen
al-Ghazali tentang pentingnya imamah dan Negara sekaligus menjawab
terhadap ide-ide sekularisme dan konsep imamah Syi’ah[42].
Pemisahan
iman dan dunia – yang berarti sekularisme – menurut al-Ghazali adalah
dikarenakan oleh kesalahan memahami konsep iman dan konsep imamah. Sesuai
dengan ciri khas pemikiriannya, al-Ghazali menjelaskan bahwa kehidupan
dunia dengan segala kesenangannya adalah sementara dan berlebihan hidup
mewah dapat merusak jiwa dan moral. Hidup adalah cukup untuk memenuhi
kebutahan dasar manusia. Orang yang memahami hal tersebut disebut orang
beradab, dan orang beradab adalah orang yang sebenar-benarny mu’min.
Pendirian negara, bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan manusia di duni
saja tapi juga untuk kepentingan di akhirat. [43]
Untuk
itulah, imam al-Ghazali menekankan pentingnya penguasaan ilmu-ilmu yang
benar. Hal itu tidak bisa dicapai dengan efektif kecuali manusia dalam
kondisi yang memadai terpenuhi kebutuhan dasarnya, dapat perlindungan
dan kondisi yang damai.
Maka
pendirian sisitem dunia yang terorganisir akan lebih jelas jika
dilengkapi dengan sistem hukum dan aturan yang benar sehingga bisa
memberi bimbingan tepat bagai warga negara, yang berarti ikut
menstabilkan spiritual rakyat. Menurut al-Ghazali menjadi muslim yang
baik bukanlah orang yang tidak menyisakan sama sekali harta duniawi.
Baginya, seorang zahid bukanlah orang yang tidak mengharapkan kekayaan
sama sekali, akan tetapi zahid adalah orang yang tidak terobsesi dan
hatinya tidak terlalu dikuasai oleh kekayaan, meskipun ia ditakdirkan
menjadi orang terkaya di dunia.
Semuanya
harus terlaksana dengan mengamalkan syari’ah. Pelaksanaa syariat sangat
membutuhkan penopang yaitu legitimasi negara. Dan agama meliputi aspek
sosial, ekonomi, politik dan budaya termasuk aspek moral dan spiritual
kehidupan. Sehingga dengan demikian agama dipandan sangat penting dan
tidak bisa dikesampingkan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan
kekal di akhirat.[44]
Demikian,
pendirian negara dan mengangkat imam menurut al-Ghazali tujuan utamanya
adalah menghasilkan kebahagiaan hakiki – yakni kebahagiaan di akhirat. Hal
ini sebenarnya sejalan dengan misi kenabian. Negara dan politik
merupakan bagian penting terutama dalam tema sentralnya, baik di dunia
maupun di akhirat.
Merupakan
sebuah keharusan bahwa agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga,
dan sesuatu yang tidak ada penjaganya pasti akan hancur[45].
Syari’ah yang tidak mendapat legitimasi dari negara untuk diterapkan,
maka syariah tersebut kehilangan keefektifan dan kesempurnaan. Pernyataan
al-Ghazali tersebut jelas menunjukkan bahwa sekularisme tidak mendapat
tempat di dalam Islam. Karena sekulerisme menceraikan antara agama dan
politik. Yang berarti mereduksi syariah untuk diterapkan dalam
masyarakat Islam.
Penutup
Pemikiran-pemikiran
Imam al-Ghazali memiliki corak bahwa konsepsi etika politik al-Ghazali
adalah suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan
aparatur negara yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh
agama sebagai dasar negara. Hal yang menarik dan patut menjadi referensi
politisi muslim adalah, al-Ghazali mementingka ilmu dan adab yang benar
dalam berpolitik. Dengan ilmu dan adab yang benar, akan melahirkan
pemerintahan yang baik, termasuk unsur-unsur yang sangat penting seperti
keadilan, transparansi dan integritas.
Usaha-usaha
perbaikan perpolitikan al-Ghazali dilakukan dengan konsep amar ma’ruf
nahi munkar. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian
nasehat. Al-Ghazali sangat komitmen terhadap faktor
perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuan tidak
semestinya melakukan reformasi konstruktif di dalam arena politik.
Karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam memenuhi tugas tersebut, perbaikan harus dimulai dari diri lebih dulu, terutama memperbaiki basicfaith
– karena hal itu mempengaruhi model perilaku manusia. Politik, moral,
pemikiran dan tindakan harus benar-benar memiliki keterkaitan antara
satu dan yang lainnya dalam sistem yang integratif.
Ilmu
dan adab yang ditekankan al-Ghazali dalam perbaikan politik adalah
model perbaikan integratif. Seorang pemimpin atau pejabat negara tidak
saja menguasai teori-teori politik akan tetapi mereka juga harus faqih.
Yang ditekankan adalah tidak saja seorang politikus itu paham ilmu-ilmu
fardlu kifayah akan tetapi ia juga harus menguasai ilm-ilmu fardlu
’ain.
Poin
penting lainnya yang bisa disimpulkan dari pemikiran politik al-Ghazali
adalah seorang pemimpin negara dan pejabatnya mesti membina hubungan
baik dengan ulama. Karena dari mereka akan diperolah kebaikan-kebaikan.
Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh
ditinggalkan oleh negara. Ulama, juga harus memberikan kontribusinya
dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan moral.
Daftar Pustaka
Abu Hamid Muhammad bin Muhamma al-Thusi al-Ghazali, Al-Iqtishad fii al-‘Itiqad, (Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003)
_______Ihya’ Ulumuddin,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah)
_______ _Fadaih al-Batiniyah, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001)
_______ Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk
_______ Al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul (Intisyarat Dar al-Dzakhoir, 1368H)
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997)
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1997)
Ahmad Syarbasi, Al-Ghazali wa al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Hilal)
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah)
Al-Qashandi, Ma’tsir Inafah fi Ma’alim al-Khalifah (Kuwait: Wizarat al-Irsyad, 1964)
Ahmad bin Sulaiman, Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam (San’a: Muassasah Zeid bin Ali at-Tsaqaafi, 2003)
Alparslan Acikgence, The Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC) 1996,VOL.1 No 1&2)
Busthami M. Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam (Ponorogo: Trimurti, 1992)
Dhiauddin Rais,Teori Politik Islam,Terjemahan al-Nadzariat al-Siyasah al-Islamiyah (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Khoiruddin al-Zarikli, al-A’laam Qamus Tarjuman (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1992)
Kamaluddin Nurdin Murjani, “Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha (Bierut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon, 2009)
Ibnu Khaldun,Kitab al’Ibar wa Daiwa al-Mubtada wa al-Khabar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah)
Ibnu Jauzi, Talbis al-Iblis (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1985)
Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah (Malang: Pustaka Bayan, 2008)
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia,2007)
Seyyed Hossein Nasr dan Iliver Leaman(ed),Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003)
Sibawaihi,Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman (Yogyakarta: Islamika, 2004)
Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi al-Nazr Ind al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971)
Tajuddin Abi Nasr ‘Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki,Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1968)
[16] Sultan
Saljuk menolak kelompok-kelompok sempalan radikal Batiniyah yang kadang
kerap melakukan tidakan pembunuhan kepada musuh-musuhnya. Kebijakan
Sultan yang menolak kelompok Batiniyah bukan semata-mata murni karena
perbedaan pandangan politik akan tetapi lebih banyak dikarenakan
kelompok Batiniyah melakukan banyak penyimpangan ideologi, melakukan
tindak kekerasan dan berusahan menggulingkan Sultan dengan cara-cara
politik adu domba.
[18] Syi’ah
Batiniyah adalah aliran dari Syi’ah Ismailiyah – yaitu sekte Syiah yang
meyakini keimamahan hanya sampai Ismail bin Ja’far al-Shadiq sebagai
imam ke-7. Perbedaan dengan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah bahwa, Syiah
Itsna Asyariyah tidak mengakui Ismail bin Ja’fa al-Shadiq sebagai imam.
Manurut Istna Asyariyah iman yang ke-7 adalah Musa bin Ja’far al-Kadzim.
Ismailiyah hanya meyakini tuhuh iman –bukan dua belas imam sebagaimana
diyakini Syiah Itsna Asyariyah – dan imam yang ke-7 atau terakhir adalah
Ismail bin Ja’far al-Shadiq. Mereka dinamakan Batiniyah karena mereka
adalah golongan yang lahiriyahnya mengaku diri Islam, namun hakikat
batinnya kufur. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-Madzahib al-Islamiyah, p. 265 dan Ahmad bin Sulaiman, Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam (San’a: Muassasah Zeid bin Ali at-Tsaqaafi), p. 500
0 komentar:
Posting Komentar